CakapCakap – Obat kuat sudah menjadi bagian dalam hubungan intim antara pria dan wanita sejak zaman dahulu. Bahkan, Cakap People mungkin juga sudah pernah mendengar kisah bahwa raja-raja di Indonesia dulu juga menggunakan obat kuat sebelum melakukan hubungan seksual dengan para selirnya. Ada beragam obat kuat yang dikenal oleh manusia, salah satunya adalah yarsagumba atau jamur ulat yang dikenal sebagai ‘viagra Himalaya’, dan banyak ditemukan di kawasan Asia Timur.
Yarsagumba merupakan obat kuat dari Himalaya, yang menjadi ‘tambang emas’ bagi penduduk lokal karena harganya yang fantastis. “Yarsagumba harganya lebih mahal dari emas,” ujar Karma Lama, salah seorang penjual, seperti dilansir oleh laman Okezone.com. Satu kilogram obat ini dibanderol dengan harga 100 ribu dolar AS, atau setara dengan Rp 1,4 miliar di pasar internasional, seperti di Cina, Korea, Thailand, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.
Harga yang sangat fantastis itulah yang membuat warga desa di lereng Himalaya rela mempertaruhkan nyawa demi mencari yarsagumba. Menurut Sita Gurung, salah seorang pencarinya, satu buah yarsagumba dijual seharga 3,5 – 4,5 dolar AS, atau sekitar Rp 50-65 ribu. Namun, ketika sudah diekspor dan sampai ke pasar internasional, harganya melonjak berkali-kali lipat. Satu gramnya dibanderol dengan harga hingga Rp 1,4 juta.
Namun sayang, viagra Himalaya di Asia kini semakin terancam keberadaannya. Peneliti menyebut yarsagumba akan semakin sulit ditemukan disebabkan perubahan iklim, seperti dikutip dari laman CNNIndonesia.com. Selain itu, banyak pula yang menduga pemanenan jadi alasan utama kelangkaan jamur ulat tersebut. “Dengan menggunakan data yang mencakup hampir dua dekade dan empat negara, kami mengungkapkan bahwa produksi jamur ulat telah menurun di banyak wilayah,” tulis laporan dalam sebuah penelitian, yang salah satunya ditulis oleh Kelly Hopping itu, belum lama ini.
“Temuan ini penting karena menyangkut spesies yang berharga seperti jamur ulat. Langka karena rentan bukan saja hanya karena pemanenan berlebih, seperti yang sering jadi fokus, tapi juga karena perubahan iklim,” tambah penulis studi. Semoga ada yang membudidayakannya ya, Cakap People!