in ,

WHO Tidak Rekomendasikan Rapid Test COVID-19 Sebagai Persyaratan Perjalanan, Ini Alasannya!

Pakar Indonesia juga telah lama menyuarakan keprihatinan atas meluasnya penggunaan rapid antibody test untuk COVID-19 sebagai persyaratan berbagai aktivitas selama pandemi, termasuk untuk bepergian.

CakapCakapCakap People! Kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia menyatakan bahwa badan tersebut tidak merekomendasikan tes cepat (rapid test) antibodi COVID-19 sebagai persyaratan untuk melakukan perjalanan atau bepergian. Alasannya adalah bahwa tingkat akurasi tes yang rendah dan kekhawatiran hasil yang tidak reaktif dapat memberikan rasa aman yang palsu.

Petugas profesional nasional WHO, Dina Kania, Kamis, 3 September 2020, mengatakan, WHO mendorong para pelancong untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

“Yang lebih penting adalah orang sakit tidak boleh bepergian, dan semua penumpang harus selalu menggunakan penutup wajah dan menjaga jarak fisik karena terbukti lebih efektif. Rapid test bisa menimbulkan rasa aman yang salah yang bisa membuat penumpang mengabaikan protokol [kesehatan],” ujarnya dalam seminar online yang diselenggarakan oleh Indonesian Global Compact Network (IGCN), The Jakarta Post melaporkan.

FOTO FILE: Sebuah logo digambarkan di markas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss, Kamis, 25 Juni 2020. [Foto: REUTERS / DENIS BALIBOUS]

WHO merilis laporan ilmiah pada 8 April 2020 tentang penggunaan rapid antigen dan antibody test, yang mana badan PBB tersebut tidak merekomendasikan penggunaan rapid test tersebut untuk perawatan pasien.

Menurut laporan singkat itu, rapid antibody test mendeteksi respons antibodi terhadap virus COVID-19, sementara sebagian besar pasien mengembangkan virus pada minggu kedua setelah timbulnya gejala. Hal inilah yang memicu potensi hasil tes negatif palsu.

Sensitivitas rapid antigen test bervariasi antara 34 dan 80 persen. Para pakar di Indonesia juga telah lama menyuarakan keprihatinan atas meluasnya penggunaan rapid antibody test untuk COVID-19 sebagai persyaratan berbagai aktivitas selama pandemi, termasuk untuk bepergian.

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn), banyak merek rapid antibody test yang digunakan di dalam negeri memiliki sensitivitas dan spesifisitas di bawah 50 persen.

Terlepas dari sikap WHO, Satgas Penanganan COVID-19 Indonesia mengizinkan hasil rapid test non-reaktif sebagai dokumen kesehatan yang valid yang diperlukan untuk penumpang yang bepergian di dalam negeri, baik melalui darat, laut atau udara, menurut surat edaran terbaru yang dirilis pada 26 Juni 2020. Dokumen rapid test tersebut valid untuk digunakan selama 14 hari.

Peraturan itu dikeluarkan setelah perusahaan transportasi terkena dampak pandemi yang parah, karena pembatasan sosial mendorong orang untuk menghindari perjalanan.

Juru bicara kementerian, Adita Irawati, dalam diskusi itu mengakui bahwa kementerian tidak setuju dengan rekomendasi WHO tentang penggunaan rapid test. Namun kementerian mengikuti arahan dari satuan tugas COVID-19 Nasional.

“Saya memahami bahwa WHO tidak mendukung merujuk pada hasil rapid test untuk diagnosis. Namun, selama tidak ada perubahan dari satgas, maka akan kami jadikan persyaratan di semua jenis transportasi, ”ujarnya.

Juru bicara Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Nasional, Wiku Adisasmito, tidak segera menanggapi pertanyaan The Jakarta Post mengenai alasan tetap mempertahankan rapid test sebagai persyaratan perjalanan meskipun ada ketidaksetujuan dari WHO.

Penumpang berada di area rapid test di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, pada 29 Juli. Mereka yang ingin terbang dengan penerbangan domestik diharuskan menunjukkan hasil rapid test yang berlaku selama 14 hari. Bandara ini menyediakan layanan satu atap untuk rapid test dengan biaya Rp 145.000. [Foto: The Jakarta Post / Dhoni Setiawan]

Sementara itu, Direktur PT Kereta Api Indonesia (KAI) Maqin Norhadi mengatakan pihaknya menyediakan fasilitas rapid test di stasiun kereta api untuk menguji penumpang yang belum mendapatkan dokumen kesehatan.

“Kami menyediakan layanan rapid test di beberapa stasiun dengan harga murah. KAI sebagai operator angkutan umum harus menjaga kesehatan penumpangnya,” ujarnya di sela-sela diskusi.

Direktur Pengembangan Bisnis Garuda Indonesia Ade Susardi mengatakan persyaratan perjalanan yang memberatkan dan sering berubah membuat masyarakat tidak dapat menggunakan transportasi udara. Berdasarkan survei internal Garuda Indonesia, 73 persen responden merasa yakin akan terbang dalam 6 bulan ke depan, namun hanya 12 persen responden yang membeli tiket pesawat.

“Masyarakat bingung tes mana yang harus mereka tempuh dan dokumen yang harus disiapkan. Syaratnya juga agak ribet untuk penumpang maskapai, ”ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Satgas: Banyak Warga Jakarta dan Jawa Timur yang Merasa Kebal COVID-19

Indonesia Tambah Lebih dari 3.000 Kasus Per Hari Selama 3 Hari Berturut-turut, Lonjakan Terus Berlanjut di Bali