CakapCakap – Cakap People! Di tengah pandemi COVID-19 dan penutupan sekolah yang meluas, setidaknya satu dari tiga siswa yang terkena dampak di seluruh dunia tidak bisa mengakses pendidikan secara virtual. Demikian diungkapkan hasil studi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dilakukan oleh UNICEF, dirilis pada Rabu, 26 Agustus 2020.
Secara keseluruhan, diperkirakan terdapat 463 juta anak di dunia kekurangan peralatan atau akses elektronik untuk mengikuti sekolah dengan pembelajaran jarak jauh (secara online), kata laporan dari UNICEF.
“Banyaknya anak-anak yang pendidikannya terganggu selama berbulan-bulan menyebabkan darurat pendidikan global. Dampaknya bisa dirasakan pada ekonomi dan lingkungan masyarakat selama beberapa dekade mendatang,” ungkap Henrietta Fore, direktur eksekutif UNICEF, seperti dikutip dari Channel News Asia.
Saat ini PBB memperkirakan ada 1,5 miliar anak di seluruh dunia terkena dampak dari lockdown ataupun penutupan sekolah yang disebabkan oleh pandemi.
Dalam laporan tersebut PBB menggarisbawahi perbedaan geografis yang cukup berpengaruh pada akses pendidikan virtual ini. Sebagai contoh, jumlah anak yang yang terdampak di Eropa jauh lebih sedikit dari anak-anak di Afrika dan Asia.
Laporan terbaru PBB ini merupakan hasil pendataan dari sektar 100 negara di dunia dengan akses publik ke internet, televisi, dan radio sebagai acuannya.
Bahkan, PBB juga menyampaikan bahwa anak-anak yang sudah memiliki akses ke pembelajaran online pun masih mungkin mendapatkan hambatan. Mulai dari kurangnya ruang belajar yang layak di rumah, sampai sejumlah gangguan teknis lainnya.
Berikut ini adalah data jumlah anak di dunia yang kesulitan mendapatkan akses ke pembelajaran online:
- Wilayah Afrika Timur dan Selatan: 67 juta anak
- Wilayah Afrika Barat dan Tengah: 54 juta anak
- Wilayah Pasifik dan Asia Timur: 80 juta anak
- Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara: 37 juta anak
- Wilayah Asia Selatan: 147 juta anak
- Wilayah Amerika Latin dan Karibia: 13 juta anak
Jumlah anak terdampak di wilayah Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada tidak ditampilkan oleh PBB karena jumlahnya relatif lebih sedikit dari beberapa wilayah di atas.
Dengan tahun ajaran baru yang akan segera dimulai di banyak negara — termasuk kelas tatap muka di banyak tempat — UNICEF mendesak pemerintah untuk “memprioritaskan pembukaan kembali sekolah yang aman ketika mereka mulai mengurangi pembatasan penguncian”.
Jika pembukaan sekolah kembali tidak memungkinkan, pemerintah harus mengatur “pembelajaran kompensasi untuk waktu instruksional yang hilang,” kata laporan itu.