CakapCakap – Cakap People! Upacara Rebo Wekasan merupakan upacara adat yang terdapat di Desa Wonokromo, Kecamatan Plered, Kabupaten Bantui, Provinsi DIY.
Disebut sebagai acara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan karena upacara ini diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar.
Kata Sapar ini identik dengan ucapan kata arab, “syafar”, yang berarti bulan Arab yang kedua. Selanjutnya, kata syafar yang identik dengan kata sapar ini menjad nama bulan Jawa yang kedua.
Dalam upacara ini sebagai puncak acaranya adalah Selasa malam atau malem Rebo.
Dahulu, upacara ini dipusatkan di depan masjid dan biasanya seminggu sebelum puncak acara sudah diadakan keramaian, yaitu pasar malam.
Upacara ini dipilih hari Rabu, konon hari Rabu terakhir dalam bulan Sapar itu merupakan hari perternuan antara Sri Sultan HB I dengan Mbah Kyai Faqih Usman.
Berdasarkan pada hari itulah kemudian masyarakat menamakannya dengan upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.
Berikut penjelasan lebih lanjut tentang upacara Rebo Wekasan, dilansir dari laman Jogjaprov, Selasa 12 September 2023.
Tujuan Upacara Rebo Wekasan
Maksud dan tujuan penyelenggaraan ipacara Rebo Wekasan adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta seorang kyai pertama di Wonokromo-Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit – yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.
Sejarah Rebo Wekasan Versi I
Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan. Pada zaman itu hidup seorang kyai yang bemama Mbah Faqih Usman. Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit.
Pada masa itu hidupnya mempunyai kelebihan ilmu baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit.
Pada waktu itu masyarakat Wonokromo meyakini bahwa Mbah Kyai mampu mengobati penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktikkan Mbah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat AI-Qur’an pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya dapat sembuh.
Seperti telah dirnuat dalam SKH KR 1983, bahwa pada saat itu di daerah Wonokromo dan sekitarnya sedang terjadi pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Tak heran kemudian masyarakat berbondong-bondong kepada Mbah Kyai untuk meminta obat dan meminta berkah keselamatan.
Ketenaran Mbah Kyai kian tersebar sampai ke pelosok daerah sehingga yang datang berobatpun makin bertambah banyak, maka di sekitar masjid lalu dipadati para pedagang yang ingin mengais rezeki dan para tamu. Suasana seperti itu dapat mengganggu akan keagungan masjid dan sangat merepotkan jamaah yang akan memasuki masjid untuk salat.
Pada suatu saat, Mbah Kyai menemukan cara paling efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada umatnya, yakni menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong, yang berada di sebelah timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.
Berkat ketenaran Mbah Kyai Faqih, lama-kelamaan sampai terdengar oleh Sri Sultan HB I. Untuk membuktikan berita tersebut, diutuslah empat orang prajurit supaya membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke keraton dan memperagakan ilmunya itu.
Ternyata ilmu Mbah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh.
Sepeninggal Mbah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwon dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman sehingga setiap hari Rabu Wekasan masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah.
Dengan mandi di pertempuran itu dimaksudkan manusia bersuci atau selalu “wisuh” untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat di dalam tubuh. Namun, masyarakat mengartikan lain, bahwa “wisuh” atau mandi tadi diartikan lain, yakni mandi “dengan “misuh” (berkata kotor).
Menurut orang setempat, hal tersebut merupakan kepercayaan orang-orang yang datang dari luar daerah, sebab masyarakat Wonokromo tidak menggangap seperti itu lantaran orang-orangnya beragama Islam yang kuat beragama dan menghindari syirik.
Sejarah Rebo Wekasan Versi II
Upacara Rebo Wekasan tidak terlepas dari Keraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Plered. Dalam buku Dewanto, disebutkan bahwa upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600.
Pada masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Melihat penderitaan rakyatnya, Sultan Agung prihatin dan kemudian dia bersemedi di sebuah masjid di Desa Kerta.
Setelah melakukan semedi, kemudian Sultan Agung menerima wangsit atau ilham bahwa wabah penyakit tersebut bisa hilang dengan syarat mempunyai tolak bala.
Adanya wangsit tersebut, kemudian Sultan Agung memanggil Kyai Sidik yang bertempat tinggal di Desa Wonokromo untuk melaksanakan pembuatan tolak bala tersebut.
Setelah itu, Kyai Welit melaksanakan dawuh untuk membuat tolak bala yang berwujud rajah dengan tulisan arab “Bismillahi Rahmanir Rakhim” sebanyak 124 baris.
Setelah tulisan yang berwujud rajah itu selesai, kemudian dibungkus dengan kain mori putih. Selanjutnya, rajah tersebut diserahkan kepada Sultan Agung serta memohon supaya rajah tersebut dimasukkan ke dalam air.
Oleh Sultan Agung ajmat yang berupa rajah itu dimasukkan ke bokor kencana yang sudah berisi air. Air ajimat itu kemudian diminumkan kepada orang sakit dan menyembuhkan. Mulai saat itu kabarnya tersebar sampai desa-desa dan menyebabkan orang sakit lalu berbondong-bondong datang untk mendapatkan air dari ajimat tersebut.
Dengan banyak peduduk yang berdatangan untuk minta air ajimat, dikhawatirkan air tersebut tidak mencukupi. Akhirnya, Sultan Agung memerintahkan kepada Kyai Sidik agar air ajimat yang masih tersisa dalam bokor kencana tadai dituangkan di tempuran kali Opak dan Gajah wong, dengan maksud supaya siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut.
Berita itu cepat menyebar dan akhirnya masyarakat banyak yang mandi atau sekadar mencuci muka di tempuran tersebut dengan harapan segala permasalahnya dapat teratasi.
Sejarah Rebo Wekasan Versi III
Bagi masyarakat, bulan Sura dan Sapar merupakan bulan sering terjadi malapetaka atau bahaya. Untuk itu, masyarakat berusaha menolaknya supaya pada bulan-bulan tersebut tidak terjadi apa-apa. Adapun caranya adalah memohon kepada orang atau kyai yang dianggap lebih pintar atau mumpuni.
Pada waktu itu orang yang dianggap pintar adalah Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo. Kyai Faqih iuga disebut Kyai Welit karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rumbia.
Masyarakat mendatangi Kyai Welit untuk dibuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab. Rajah ini kemudian dimasukkan ke bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat.
Lama-kelamaan orang yang datang minta wifik atau rajah bertambah banyak sehingga Kyai Welit kewalahan. Akhirnya, Kyai Welit menemukan cara baru, yaitu wifik atau rajah yang dipasang di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong.
Dengan cara ini orang tidak periu mendatangi Kyai Welit dan mereka cukup mengambil air atau mandi di tempuran untuk mendapatkan berkah keselamatan sebagai sarana tolak bala.
Konon, di sungai tempuran itu setiap Rebo Wekasan bulan Sapar, yaitu pada hari Selasa malam dipakai tempat penyeberangan orang-orang yang akan menuju ke Gunung Permoni yang terletak di Desa Karangwuni, Desa Trimulya.
Saat mereka menyeberang sungai memang ada yang melontarkan kata-kata umpatan atau kurang pantas. Apalagi yang menyeberang adalah wanita yang harus cincing atau mengangkat rok/kain supaya tidak basah. Di situlah kemudian orang mengatakan kata-kata yang kurang pantas.
Mereka menyeberang sungai karena waktu itu untuk menuju ke Gunung Permoni belum ada jembatan yang menghubungkan. Untuk itu satu-satunya jalan adalah menyeberang sungai tempuran tadi.
Gunung Permoni ini merupakan Tamansari Keraton Mataram di Plered dan di tempat itu dijumpai adanya beberapa batu peninggalan di antaranya batu ambon, batu panah, batu payung, batu jarum sembrani, dan sebagainya.
Mereka yang datang ke sana adalah nenepi atau untuk memohon sesuatu. Kaitannya dengan setiap hari Selasa malam Rabu – Rebo Wekasan – di bulan Sapar ini adalah banyaknya masyarakat yang menghadap kepada Kyai Faqih untuk meminta doa kepada beliau agar selamat dari malapetaka.