CakapCakap – Cakap People! Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat (AS) mengeluarkan pedoman tentang vaksinasi COVID-19 setelah terjadi reaksi alergi.
Reuters melaporkan, CDC pada Sabtu, 19 Desember 2020, memantau laporan reaksi alergi terhadap vaksinasi COVID-19 dan membuat rekomendasi tentang bagaimana orang dengan riwayat alergi apakah harus melanjutkan vaksinasi atau tidak jika terjadi reaksi parah.
CDC mengatakan bahwa siapa pun yang memiliki reaksi parah terhadap vaksin COVID-19 seharusnya tidak mendapatkan dosis kedua. CDC mendefinisikan reaksi parah itu adalah mereka yang membutuhkan obat epinefrin atau perawatan di rumah sakit.
Orang yang mengalami reaksi alergi parah terhadap bahan apa pun dalam vaksin COVID-19 harus menghindari formulasi vaksin yang mengandung bahan tersebut, kata CDC. Dua vaksin telah disetujui di Amerika Serikat di bawah otorisasi penggunaan darurat.
Individu dengan riwayat reaksi alergi parah terhadap vaksin harus berkonsultasi dengan dokter mereka tentang suntikan vaksin COVID-19.
CDC mengatakan, orang dengan alergi parah terhadap makanan, hewan peliharaan, lateks atau kondisi lingkungan serta orang dengan alergi obat oral atau riwayat keluarga dengan reaksi alergi parah masih bisa divaksinasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sedang menyelidiki sekitar lima kasus reaksi alergi yang terjadi setelah orang diberikan vaksin COVID-19 Pfizer-BioNTech di Amerika Serikat minggu ini.
Pada Jumat, 11 Desember 2020, FDA menyatakan, vaksin Moderna Inc, yang mendapat izin penggunaan darurat, tidak boleh diberikan kepada individu yang diketahui memiliki riwayat reaksi alergi parah terhadap komponen suntikan apa pun.
Regulator medis Inggris menyebutkan, siapa pun dengan riwayat anafilaksis, atau reaksi alergi parah terhadap obat atau makanan, tidak boleh diberi vaksin COVID-19 dari Pfizer-BioNTech.
Amerika juga masih mencatatkan diri sebagai negara dengan kasus infeksi dan kematian akibat COVID-19 tertinggi nomor satu di dunia hingga saat ini, dengan telah mencatatkan total lebih dari 17 juta orang yang terinfeksi dan lebih dari 300.000 kematian.