CakapCakap – Cakap People! Paparan polusi udara jangka panjang mungkin terkait dengan 15 persen kematian akibat COVID-19 secara global. Demikian diungkapkan sebuah studi baru.
Aljazeera melaporkan, diterbitkan dalam jurnal Cardiovascular Research pada hari Selasa, 27 Oktober 2020, penelitian dari para ahli Jerman dan Siprus ini menganalisis data kesehatan dan penyakit dari Amerika Serikat dan China terkait dengan polusi udara, COVID-19 dan SARS (Severe acute respiratory syndrome (SARS)– penyakit pernapasan yang mirip dengan penyakit virus corona baru.
Studi ini menggabungkan data satelit tentang paparan global terhadap materi partikulat atau partikel mikroskopis, serta jaringan pemantauan polusi berbasis darat. Cara ini digunakan untuk menghitung sejauh mana polusi udara dapat disalahkan atas kematian COVID-19.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa 27 persen kematian akibat COVID-19 dapat dikaitkan dengan efek kesehatan dari kualitas udara yang buruk. Proporsinya 19 persen di Eropa, dan 17 persen di Amerika Utara.
Para penulis mengatakan, kematian yang terkait dengan COVID-19 dan polusi udara mewakili kematian yang berpotensi dapat dihindari. Paparan materi partikulat di udara kemungkinan memperburuk penyakit penyerta yang menyebabkan hasil yang fatal dari infeksi oleh SARS-CoV-2 atau virus penyebab COVID-19.
“Jika paparan jangka panjang terhadap polusi udara dan infeksi virus COVID-19 bersatu, maka kita memiliki efek buruk pada kesehatan, terutama yang berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah,” kata rekan penulis studi itu, Thomas Munzel.
Munzel mengatakan, polusi udara membuat faktor risiko COVID-19, seperti masalah paru-paru dan jantung lebih mungkin diketahui.
Secara khusus, tim tersebut mencatat bahwa materi partikulat tampaknya meningkatkan aktivitas reseptor pada permukaan sel paru-paru atau ACE-2 yang diketahui terlibat dalam cara COVID-19 menginfeksi pasien.
“Jadi, kami mendapat serangan ganda, polusi udara merusak paru-paru dan meningkatkan aktivitas ACE-2, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan penyerapan virus,” kata profesor di Pusat Medis Universitas Universitas Johannes Gutenberg ini.
Peneliti menyatakan, mengaitkan kematian akibat COVID-19 dengan polusi udara tidak berarti bahwa polusi itu sendiri membunuh orang dengan penyakit tersebut. Meskipun peneliti tidak mengesampingkan hubungan sebab-akibat seperti itu.
Perwakilan dari Max Planck Institute for Chemistry, Jos Lelieveld, mengatakan penelitian tersebut menunjukkan partikel polusi adalah faktor pendamping dalam memperburuk penyakit.
Perkiraan studi menunjukkan bahwa lebih dari 6.100 kematian akibat virus corona di Inggris dapat dikaitkan dengan polusi udara, sedangkan di Amerika Serikat angkanya sekitar 40.000.
Para penulis mengatakan, bahwa tanpa perubahan mendasar kebiasaan masyarakat kota memberdayakan dirinya sendiri. Warga harus mulai melakukan transisi ke sumber energi bersih dan terbarukan, sebab polusi udara akan terus membunuh banyak orang bahkan setelah pandemi surut.
“Pandemi berakhir dengan vaksinasi populasi atau dengan kekebalan kawanan melalui infeksi ekstensif pada populasi.
Namun, tidak ada vaksin untuk kualitas udara yang buruk dan perubahan iklim. Perbaikannya adalah dengan mengurangi emisi,” tulis peneliti studi.