CakapCakap – Cakap People! Studi bersama yang dilakukan oleh AON dan TELUS Health pada Setepmber lalu mengungkapkan bahwa sekitar 82 persen pekerja di Asia memiliki risiko kesehatan mental yang tinggi, hal ini menyoroti meningkatnya kekhawatiran terhadap kesejahteraan tempat kerja di Asia.
Penelitian bersama ini mengeksplorasi kesehatan mental dan dampaknya terhadap produktivitas pekerja di 12 negara di Asia termasuk India, Jepang, Indonesia, Korea Selatan, dan Singapura.
Dilansir dari Wio News, tujuan utama dari studi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang risiko kesehatan mental karyawan dan membantu bisnis membuat keputusan yang lebih baik untuk mengelola kesehatan mental karyawan dan meningkatkan ketahanan tenaga kerja.
“Kemungkinan besar pekerja mengalami masalah mental, di mana 30 persen dari mereka dilaporkan mengalami masalah mental berisiko tinggi dan 7 persen dari mereka mengalami masalah mental berisiko sedang, ini berarti ada peningkatan risiko produktivitas yang lebih rendah dan risiko keuangan bagi organisasi,” ungkap studi tersebut.
Temuan Utama
Sebanyak 45 persen responden di seluruh Asia melaporkan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan berdampak negatif pada kesehatan mental, sementara stres, kecemasan, dan kelelahan terus meningkat. Sekitar 51 persen karyawan melaporkan merasa lebih sensitif terhadap stres tahun ini dibandingkan tahun lalu, dan 30 persen pekerja merasa sulit berkonsentrasi pada pekerjaan mereka.
Selain itu, kurang lebih 47 persen karyawan melaporkan mengakhiri hari mereka dengan perasaan lelah secara mental dan fisik. Studi tersebut juga mengatakan bahwa para pekerja di Asia yang menghadapi tekanan pekerjaan, rumah tangga, sosial yang semakin meningkat, stigma seputar kesehatan mental, dan dampak pandemi Covid berkontribusi terhadap memburuknya kesehatan mental.
“Sekitar 54 persen karyawan percaya bahwa pilihan karier mereka akan terbatas jika atasan mereka mengetahui bahwa mereka mempunyai masalah kesehatan mental. Sementara 49 persen mengatakan mereka akan khawatir teman dan keluarga akan memperlakukan mereka secara berbeda dan 49 persen lain melaporkan bahwa mereka akan merasa negatif terhadap kesehatan mental mereka dan diri mereka sendiri,” studi tersebut menambahkan lebih lanjut.
Kesulitan dalam Mengakses Dukungan Kesehatan Mental
Berdasarkan penelitian, sebanyak 43 persen responden mengatakan bahwa biaya adalah hambatan nomor satu dalam mengakses dukungan kesehatan mental.
“Kurangnya informasi dan pengetahuan tentang di mana mendapatkan bantuan juga menduduki peringkat tinggi di kalangan responden, dengan hampir sepertiganya tidak mengetahui jenis layanan apa yang mereka perlukan atau ke mana mereka harus pergi,” kata studi tersebut.
Intervensi dan dukungan yang tepat waktu dapat membantu menghindari konsekuensi kesehatan mental yang buruk seperti ketidakhadiran, hilangnya produktivitas dan hilangnya bakat. Namun, ada beberapa faktor yang mempersulit karyawan untuk mendapatkan dukungan.
Kelompok ini juga menilai stigma dalam empat tanggapan teratas mereka mengenai hambatan untuk mendapatkan dukungan dan melaporkan bahwa mereka khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan tentang mereka yang mempunyai masalah kesehatan mental. Jamie McLennan, direktur pelaksana APAC, TELUS Health, mengatakan banyak perusahaan masih tidak memperhatikan kesehatan mental karyawan mereka dengan serius.
“Jika tidak ditangani dan didukung, akan menyebabkan penurunan produktivitas. Mengatasi kesehatan mental dan kesejahteraan karyawan merupakan sebuah keharusan,” kata McLennan.