CakapCakap – Cakap People! Presiden Iran Ebrahim Raisi angkat bicara mengenai kematian Mahsa Amini, perempuan muda yang tewas dalam status tahanan akibat melanggar aturan hijab. Raisi mengatakan, kepergian Amini meninggalkan kesedihan bagi Iran, namun kekacauan akibat protes yang dipicu olehnya tidak dapat diterima.
Kematian Amini dua minggu lalu telah memicu protes anti-pemerintah di seluruh Iran. Pengunjuk rasa menyerukan supaya kekuasaan ulama Islam yang telah bertahan selama lebih dari empat dekade itu diturunkan.
“Kami semua sedih dengan insiden tragis ini. (Namun) Kekacauan tidak dapat diterima. Garis merah pemerintah adalah keamanan rakyat kita: Kita tidak bisa membiarkan orang mengganggu kedamaian masyarakat melalui kerusuhan,” kata Raisi dalam sebuah wawancara dengan TV pemerintah Rabu, 28 September 2022, seperti dilansir Reuters.
Amini yang berasal dari kota Kurdi barat laut Saqez, ditangkap pada 13 September 2022 di Teheran oleh polisi moral Iran yang menegakkan aturan berpakaian Republik Islam karena diduga menggunakan “pakaian yang tidak sesuai.” Perempuan berusia 22 tahun itu ditahan di sel kepolisian. Dia meninggal tiga hari kemudian di rumah sakit setelah mengalami koma.
Jumlah korban tewas dalam demo terus bertambah karena pasukan keamanan menggunakan tindakan represif dengan gas air mata, tongkat, dan dalam beberapa kasus, peluru tajam. Video yang diposting di media sosial menunjukkan pengunjuk rasa menyerukan pembubaran lembaga ulama saat bentrok dengan pasukan keamanan di Teheran, Tabriz, Karaj, Qom, Yazd dan banyak kota Iran lainnya.
Kelompok HAM Amnesty International menyatakan di Twitter bahwa pasukan keamanan Iran telah menanggapi protes dengan kekuatan yang melanggar hukum, termasuk dengan menggunakan peluru tajam dan peluru logam lainnya. Tindakan itu menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya.
Media pemerintah mencap para pengunjuk rasa “munafik, perusuh, preman dan penghasut”. Sementara televisi pemerintah mengatakan polisi bentrok dengan “perusuh” di beberapa kota.
Para pengunjuk rasa, yang mayoritas perempuan meneriakkan hak bagi kaum perempuan. Banyak dari mereka yang memprotes dengan melambaikan hingga membakar kerudung mereka.
Media pemerintah juga melaporkan penangkapan aktivis hak-hak perempuan Faezeh Hashemi Rafsanjani, putri mantan presiden Iran dan pendiri Republik Islam, karena “menghasut kerusuhan” di Teheran.
Untuk mempersulit pengunjuk rasa memposting video di media sosial, pihak berwenang telah membatasi akses internet di beberapa provinsi, menurut observatorium pemblokiran Internet NetBlocks di Twitter.
Para pejabat mengatakan 41 orang, termasuk anggota polisi dan milisi pro-pemerintah, tewas selama protes. Tetapi kelompok hak asasi manusia Iran melaporkan jumlah korban yang lebih tinggi.
Kelompok hak asasi manusia Iran Hengaw mengatakan 18 orang telah tewas, 898 terluka dan lebih dari 1.000 pengunjuk rasa Kurdi ditangkap dalam 10 hari terakhir. Kendati demikian diperkirakan bahwa angka sebenarnya lebih tinggi.