Berdasarkan data perhitungan terbaru Medecins Sans Frontieres (MSF) yang dirilis pada hari Kamis (15/12/2017), sebanyak 6.700 orang Rohingya tewas sejak rentetan peristiwa kekerasan terjadi di daerah mereka tinggali, negara bagian Rakhine, sejak bulan Agustus lalu.
Tentu saja ini lebih tinggi dari jumlah resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Myanmar yang hanya sebanyak 400 orang, di mana sebagian besarnya adalah “para pemberontak”.
MSF mengatakan bahwa ini adalah contoh paling jelas mengenai kekerasan yang dilakukan secara meluas oleh pemerintah Myanmar.
Militer Myanmar membantah telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan menuding organisasi “teroris” adalah biang keladi dari semua masalah.
Tindakan keras militer dimulai pada 25 Agustus setelah gerilyawan Rohingya bernama ARSA menyerang lebih dari 30 pos polisi. Sejak itu, meletuslah konflik bersenjata yang menyebabkan lebih dari 647.000 orang Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh.
BBC mengatakan bahwa survei kelompok bantuan tersebut juga menemukan bahwa setidaknya 9.000 orang Rohingya meninggal di Myanmar dari kurun waktu tanggal 25 Agustus hingga 24 September.
MSF memperkirakan setidaknya 6.700 kasus kematian tersebut disebabkan oleh faktor kekerasan. Dari angka tersebut, ada sekitar 730 anak yang masih berusia di bawah lima tahun.
Berikut ini laporan terperinci dari MSF :
69% kematian terkait kekerasan disebabkan oleh senjata api
9% karena dibakar hidup-hidup
5% akibat pukulan
Di antara anak-anak yang meninggal di bawah usia lima tahun, MSF mengatakan lebih dari 59% dilaporkan tewas tertembak, 15% akibat terbakar, 7% karena pukulan dan 2% lainnya oleh ledakan ranjau darat.
Setelah melakukan “penyelidikan internal”, pada bulan November lalu militer Myanmar dinyatakan tidak bersalah atas kejahatan dan kelalaian yang terjadi di medan. Keputusan tersebut sekaligus menyangkal tuduhan masyarakat internasional atas serangkaian kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan.
Juga pada bulan November, pemerintah Bangladesh menandatangani kesepakatan dengan Myanmar untuk mengembalikan ratusan ribu pengungsi yang mencari keselamatan.
MSF mengatakan bahwa hasil perhitungan tersebut masih “terlalu dini” dengan alasan bahwa masih ada yang berusaha melarikan diri ke perbatasan Bangladesh dan dilaporkan kekerasan masih terjadi selama beberapa pekan terakhir.
Mereka juga memperingatkan bahwa pemerintah Myanmar masih membatasi akses pengiriman bantuan ke negara bagian Rakhine.
Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan yang telah lama mengalami serangkaian tindak penganiayaan dari aparat keamanan Myanmar.
Mereka tidak diberikan status kewarganegaraan sebab mereka dianggap sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Pemerintah Myanmar menghindari penggunaan istilah “Rohingya” dan memilih menyebut mereka sebagai “Muslim Bengali”.