CakapCakap – Cakap People! Pasukan keamanan Myanmar melepaskan tembakan pada Minggu, 28 Maret 2021, ke orang-orang yang berkumpul saat mengikuti pemakaman salah satu dari 114 warga sipil yang tewas pada hari Sabtu, 27 Maret 2021 — hari paling berdarah sejak kudeta 1 Februari — ketika kepala pertahanan dari 12 negara mengutuk militer atas tindakan keras yang mematikan terhadap para demonstran.
Tidak ada laporan tentang korban dalam penembakan di pemakaman pada hari Minggu itu, di kota Bago, dekat ibu kota komersial Yangon, menurut tiga orang yang berbicara kepada kantor berita Reuters.
“Saat kami menyanyikan lagu revolusi untuknya, pasukan keamanan baru saja datang dan menembak kami,” kata seorang wanita bernama Aye, yang merawat Thae Maung Maung, seorang mahasiswa berusia 20 tahun yang ditembak pada hari Sabtu. “Orang-orang, termasuk kami, lari saat mereka melepaskan tembakan.”
Dua orang tewas dalam penembakan pada protes Minggu, 28 Maret, dalam insiden terpisah di tempat lain, kata saksi dan laporan berita. Satu orang tewas ketika tentara melepaskan tembakan kepada sekelompok pengunjuk rasa di dekat ibu kota Naypyidaw, Myanmar Now melaporkan.
Sejauh ini pada hari Minggu tidak ada laporan protes skala besar di Yangon atau di kota kedua negara itu, Mandalay, yang menanggung paling berat dari korban pada hari Sabtu, tepat pada Hari Angkatan Bersenjata Myanmar. Pemakaman diadakan di banyak tempat.
Setidaknya enam anak berusia antara 10 hingga 16 tahun termasuk di antara mereka yang tewas pada hari Sabtu, menurut laporan berita dan saksi mata.
Amerika Serikat, Inggris Raya, Jepang dan Korea Selatan menandatangani pernyataan bersama pada hari Minggu yang mengecam tindakan keras militer.
Meskipun tidak secara eksplisit mengutuk kudeta 1 Februari, yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, tetapi mereka mengatakan bahwa militer profesional harus mengikuti standar internasional untuk berperilaku “dan bertanggung jawab untuk melindungi – bukan merugikan – masyarakat yang dilayaninya”.
Dikatakan militer negara itu harus “menghentikan kekerasan dan bekerja untuk memulihkan rasa hormat dan kredibilitas dengan rakyat Myanmar yang telah hilang melalui tindakannya”.
Negara lain yang menandatangani pernyataan tersebut adalah Australia, Kanada, Jerman, Yunani, Italia, Denmark, Belanda, dan Selandia Baru.
Beberapa pemakaman diadakan pada hari Minggu untuk beberapa korban penumpasan tersebut.
Pertumpahan darah tersebut mengundang kecaman baru dari Barat. Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar mengatakan tentara melakukan “pembunuhan massal” dan meminta dunia untuk mengisolasi junta dan menghentikan akses mereka pada senjata.
Kritik dan sanksi asing yang dijatuhkan oleh beberapa negara Barat sejauh ini telah gagal mempengaruhi para pemimpin militer Myanmar, karena aksi proters terjadi hampir setiap hari di seluruh negeri sejak junta mengambil alih kekuasaan dan menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
Komite Pemogokan Umum Kebangsaan (GSCN), salah satu kelompok protes utama, memberikan penghormatan kepada mereka yang meninggal, mengatakan dalam sebuah posting Facebook: “Kami memberi hormat kepada para pahlawan kami yang mengorbankan nyawa selama revolusi ini”. Ia menambahkan, “Kita Harus Memenangkan REVOLUSI Ini.”