CakapCakap – Rencana pemerintah untuk melakukan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dipandang sangat diperlukan untuk menghadapi perkembangan zaman. Demikian diungkapkan Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakiri.
Dikatakannya bahwa Indonesia membutuhkan ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik, terutama yang mengarah kepada pasar kerja fleksibel dan perkembangan dunia saat ini.
“Perkembangan dunia sekarang itu apa, yang sudah mengarah kepada pasar kerja yang lebih fleksibel. Nah sementara, UU [Undang-undang] dan regulasi ketenagakerjaan kita ini kaku seperti kanebo kering,” katanya di Istana Negara, Senin 24 Juni 2019.
Diakuinya, sampai saat ini pemerintah masih mengkaji seluruh masukan dari berbagai pihak, baik itu dari pihak pengusaha dan buruh agar aturan yang dihasilkan nanti bisa mengakomodasi kedua belah pihak.
Hanif juga menyampikan bahwa banyak pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi sasaran uji materi (judicial review).
“Sayangnya, pemerintah belum memiliki kerangka waktu yang jelas terkait target penyelesaian revisi UU Ketenagakerjaan. “Prinsipnya ASAP [as soon as possible],” tutur Hanif.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi UU Ketenagakerjaan, terutama terkait dengan investasi padat karya dan jaminan pensiun.
“Tadi kami sampaikan perlu kiranya pemerintah untuk melihat kembali Undang-undang Ketenagakerjaan kita karena undang-undang ini selain sudah 15 kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi juga kenyataannya memang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kondisi saat ini, ” kata Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani di Istana Merdeka, Kamis 13 Juni 2019.
Hariyadi mencontohkan mengenai adanya relokasi investasi besar-besaran para pemain industri padat karya ke sejumlah negara antara lain Myanmar, Laos, Bangladesh, dan Vietnam.
Padahal, lanjutnya, secara ekonomi Indonesia membutuhkan investor industri padat karya untuk menyerap tenaga kerja lokal yang masih berlatar belakang pendidikan SMP ke bawah.
Fenomena relokasi investasi ini diakui Hariyadi dipengaruhi oleh regulasi di Indonesia yang masih terkotak-kotak sehingga menimbulkan ketidakpastian secara hukum.