in ,

Mengenal Ruhana Kuddus, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2019

Melalui surat kabar itu, Ruhana dan PK Amai menarik perhatian pemuka Belanda di Batavia (Jakarta).

CakapCakapCakap People! Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini, Jumat 8 November 2019 telah resmi memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh bangsa,

Keenam tokoh tersebut adalah Ruhana Kuddus dari Sumatera Barat, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yii Ko) dari Sulawesi Tenggara, Prof dr M Sardjito dari DI Yogyakarta, KH Abdul Kahar Mudzakkir dari DI Yogyakarta, A A Maramis dari Sulawesi Utara dan KH Masjkur dari Jawa Timur.

https://www.instagram.com/p/B4mejgNBjjz/?igshid=1cmu27uef0qd8

Mengenal Sosok Ruhana Kuddus, Tokoh Jurnalisme dan Pendidikan

Salah satu yang menerima anugerah gelar Pahlawan Nasional 2019 adalah sosok Ruhana Kuddus, yang merupakan jurnalis perempuan pertama Indonesia asal Sumatera Barat (Sumbar).

Selain jurnalis, Ruhana juga tercatat sebagai pejuang dan pemberdaya perempuan di tanah kelahirannya, Kota Gadang.

Pengusulan Ruhana Kuddus sebagai pahlawan nasional sebenarnya telah dilakukan sejak 2018 lalu, tetapi baru diangkat pada tahun ini.

Ruhana diketahui lahir pada 20 Desember 1884 di Kota Gadang, Kecamatan Ampek Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Emil Salim dalam artikel “100 Tahun Pemberdayaan Perempuan” yang dimuat di Harian Kompas, 21 April 2011 menyebutkan, Ruhana sejak kecil tumbuh di lingkungan berpendidikan.

Ayahnya, Muhammad Rasyad Maharajja Sutan merupakan seorang Hoofd Jaksa yang rumahnya dijadikan sebagai tempat sekolah, bermain, membaca buku, majalah, dan surat kabar.

Karenanya, sejak kecil kecil Ruhana mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Melayu dan Belanda.

Bersama Dewi Santika, Ruhana pernah mendirikan sekolah untuk perempuan.

Saat pergi merantau bersama ayahnya, Ruhana mulai bersentuhan dengan dunia luar yang memperkenalkannya dengan berbagai ketrampilan dan kerajinan tangan.

Menikah

Ruhana Kuddus. [Foto: Wikipedia via KOMPAS.com]

Di tahun 1908, Ruhana menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris, penulis, dan aktivis pergerakan. Bersama suaminya, Ruhana semakin bersemangat belajar dan mendidik kaum perempuan Kotagadang.

Namun, apa yang dilakukan oleh Ruhana itu justru dianggap telah merusak budi pekerti perempuan Kota Gadang.

Kehidupan sosial Minangkabau yang memberlakukan sistem matrilineal, pewarisan dan kepala keluarga mengikuti garis keturunan ibu dan disandingkan dengan ajaran Islam menumbuhkan pola kehidupan sosial yang sangat protektif terhadap perempuan.

Oleh karena itu, Ruhana dan suaminya terpaksa meninggalkan Kota Gadang dan merantau ke Padang Panjang dan Maninjau.

Di Minanjau, Ruhana mendalami agama dan mempelajari kedudukan perempuan dalam Islam kepada ayah Buya Hamka, Buya Syekh Abdul Karim bin Amrullah.

Memperjuangkan Perempuan

Saat tengah menjalani masa merantau itu, Ruhana diketahui pulang ke kampung halamannya untuk mendirikan perkumpulan perempuan.

Diberitakan Harian Kompas, 11 Februari 2011, Ruhana yang saat itu berusia 27 tahun memimpin sebuah pertemuan yang dihadiri oleh 60 perempuan, empat orang ninik-mamak dan ulama.

Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya “Perkumpulan Karadjinan (PK) Amai Satia” yang bertujuan untuk memajukan perempuan Kotagadang dalam berbagai aspek kehidupan yang diketuai oleh Ruhana.

PK Amai Setia pun mulai bergerak dengan membangkitkan semangat pemberdayaan perempuan Minangkabau serta membekali mereka dengan ilmu dan ketrampilan.

Jurnalis

Selain memimpin PK Amai Satia, Ruhana juga diminta untuk menjadi penulis tetap yang kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Sunting Melayu, sebuah surat kabar perempuan.

Hal itu membuat namanya tercatat dalam sejarah sebagai perempuan pertama Indonesia yang memimpin surat kabar.

Melalui surat kabar itu, Ruhana dan PK Amai menarik perhatian pemuka Belanda di Batavia (Jakarta).

Mereka kemudian mengundang Ruhana untuk ikut serta dalam Pameran Internasional di Belanda untuk menunjukkan kreativitas hasil kerajinan tangan dari perempuan Kota Gadang yang fasih berbahasa Belanda.

PK Amai pun tercatat telah mendapat sejumlah penghargaan, seperti Bronzen Ster (1941) dan Penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto (1987), dan Penghargaan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007).

KOMPAS.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mengenal Kepribadian Seseorang dari 5 Cara Makannya, Cek Kebiasaanmu!

Bikin Camilan Sehat dan Mudah yuk Buncis Krispi Bawang Putih!