Kalau kamu rajin mengikuti perkembangan teknologi robotik, istilah ‘technologically enhanced human’ sudah pasti akrab di telinga kamu. Memang, sih, ada kalanya orang awam salah kaprah sama istilah yang satu ini. Kebanyakan orang langsung mengasosiasikan dengan cyborg yang keberadaannya dipopulerkan oleh film Terminator.
Ada juga yang mengilustrasikan ‘technologically enhanced human’ dengan pilot drone militer, yang mampu mengebom musuh dari kejauhan tanpa harus ikut melayang di angkasa dan cukup dilengkapi oleh sensor jarak jauh, optronik, dan kamera inframerah. Namun, mereka yang berkutat dengan dunia kedokteran berpendapat bahwa frasa tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dimana pengobatan jarak jauh alias telemedicine dan remote diagnosis adalah contoh yang paling mudah ditemukan.
Apapun contoh maupun ilustrasi dari ‘technologically enhanced human’, terobosan tersebut memberi peluang untuk berbagai pengalaman baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hanya saja, kita harus mengakui, guys, kalau ada produk teknologi yang sebenarnya useless banget karena gunanya cuma sebatas saat kita berinteraksi dengan orang lain dalam konteks hubungan sosial dan aktivitas sekunder yang melenceng jauh dari dasar dan alasan ia ditemukan. Maka dari itu, yang jadi persoalan bukanlah berbagai temuan teknologi itu bakal menggantikan peran kita, guys. Tapi, benar-benar mengerti nilai semacam apa yang kita nisbatkan pada mesin atau berbagai teknologi itu sendiri.