Menurut Ahmad M Sewang dalam sebuah bukunya yang berjudul “Islamisasi Kerajaan Gowa”, dikisahkan bahwa kedatangan Islam di Sulawesi Selatan memang agak terlambat dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Dalam Lontara Pattorioloang, baru di masa Raja Gowa ke-10 Tonipalaga terdapat perkampungan musim yang berada di Makassar.
Penduduk perkampungan Muslim tersebut diketahui terdiri atas para saudagar Melayu dari Campa, Johor, Minangkabau dan Pattani. Ketika masa pemerintahan Raja Gowa ke-11, Toni Jallo, masjid berdiri di kawasan permukiman muslim dan diberi nama Mangallekanna.
Menurut kronik lokal yang sama, menceritakan bahwa Kerajaan Gowa merupakan negeri pertama di Sulawesi Selatan sebagai agar resmi di wilayah tersebut. Cerita ini pun bermula dari adanya kedatangan tiga orang mubaligh yang berasal dari Koto Tengah, Minangkau sekitar pada aba ke-16. Ketiga mubaligh tersebut adalah Datuk Ditiro, Datuk Ribanding dan Datuk Patimang.
Kedatangan ketiga mubaligh tersebut ternyata berhasil mengislamkan I Mallingkang Daeng Manyonri. Ia merupakan Raja Tallo sekaligus sebagai patih Kerajaan Gowa. Perlu Kamu ketahui, sejak masa Raja Gowa ke-9, Tumapa’risi Kallona sudah terdapat aliansi antara Gowa dan Tallo untuk menjaga keutuhan Makassar.
Bahkan aliansi tersebut juga membuat perjanjian yang berisi bahwa Raja Gowa berkedudukan sebagai pemimpin, sedangkan Raja Tallo menjadi patihnya. I Mallingkang Daeng Manyonri berganti nama menjadi Sultan Abdullah Awwalul-Islam semenjak ia memeluk agama Islam. Bahkan pada tahun 1605 Masehi atau 1014 Hijriyah ia berhasil mengajak keponakannya yaitu Raja Gowa ke-14 bernama I Mang’rangi untuk memeluk Islam.
Sejak memeluk agama Islam itulah I Mang’rangi juga mengganti nama menjadi Sultan Alauddin. Di tahun 1603 berdirilah masjid Gowa sebagai pusat dakwah Islam di kerajaan tersebut. Empat tahun kemudian, Sulatan Alauddin menyatakan bahwa Islam menjadi agama resmi di Kerajaan Gowa. Sehingga hal inilah yang menjadi tonggak awal penyebaran Islam di Provinsi Sulawesi Selatan.
Di masa itu, dakwah berjalan damai di tengah masyarakat Gowa. Semenjak saat itulah dakwah semakin diperluas hingga ke Kerajaan Bone. Bahkan kala itu Raja Bone sempat menolak karena menilai dakwah tersebut hanyalah siasat untuk menguasai orang Bugis. Kecurigaan Raja Bone tersebut justru menjadi awal terjadinya konflik terbuka.
Di tahun 1608, Kerajaan Gowa di bawah pimpinan adik Sultan Alauddin berperang melawan negeri-negeri Bugis agar mereka mengakui bahwa Islam sebagai kepercayaan resmi. Akhirnya La Tenrirua yaitu seorang ningrat Bone akhirnya menerima Islam. Meskipun kala itu La Tenrirua harus menyingkir ke Bantaeng karena keputusannya ditolak oleh dewan adat Bone.
Tetapi pada masa kepemimpinan We Tenrituppu di Bone akhirnya Islam menjadi agam resmi di lingkungan ningrat. Bahkan agama Islam semakin kukuh di Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-12. Selain itu, kedudukan dewan adat Bone juga diperkuat dengan adanya jabatan yang mengurus syariat Islam, Petta Kalle dan Parewa Sara.