CakapCakap – Cakap People! Kemerdekaan Palestina sampai berita ini dituliskan, masih menjadi isu global yang kompleks. Meski banyak upaya dan aspirasi agar Palestina meraih kedaulatan, namun nyatanya masih sulit mewujudkan kemerdekaan bagi Palestina. Padahal Palestina pernah mendeklarasikan kemerdekaan pada 15 November 1988.
Website Kementerian Luar Negeri RI menuliskan Palestina adalah satu-satunya negara peserta Konferensi Asia-Afrika 1955 yang belum merdeka. Secara bilateral, Palestina juga terus berupaya mendapatkan pengakuan dari berbagai negara.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut beberapa alasan kenapa kemerdekaan Palestina masih sulit didapat.
Lemahnya Sistem Politik Palestina
Melansir Middle East Institute, lemahnya sistem politik Palestina menjadi salah satu penghambat mengapa negara di Asia Barat ini sulit merdeka. Perpecahan fisik dan politik menyebabkan kurangnya kesiapan alestina untuk menjadi negara yang independen.
Sejak 2007, Jalur Gaza telah diperintah oleh Hamas. Namun Tepi Barat diperintah oleh Otoritas Palestina. Hal ini menjadi masalah lantaran kedua entitas politik ini bersaing secara langsung dan menghabiskan banyak energi saling mengkritik satu sama lain, bukannya bersama-sama berupaya mencapai timbal balik dan pembangunan politik. Sementara itu, bagian ketiga dari wilayah Palestina yakni Yerusalem Timur, sudah dianeksasi sepenuhnya oleh Israel.
Kependudukan Israel
Pendudukan Israel juga masih menjadi hambatan utama memperoleh kemerdekaan Palestina. Konflik berkepanjangan dengan Israel menjadi faktor utama yang menyulitkan perolehan kemerdekaan Palestina. Sejak pembentukan negara Israel pada 1948, terjadi konflik wilayah yang terus memanas, menciptakan ketidakstabilan dan mempersulit upaya menuju kemerdekaan.
Terganjal Pengakuan Negara Lain
Menurut data World Population Review, hingga berita ini ditulis, ada 139 negara yang resmi memberikan pengakuan bilateral terhadap Palestina sebagai negara. Pengakuan ini diberikan setelah Dewan Nasional Palestina mendeklarasikan kemerdekaannya pada 15 November 1988 di al-Jazair. Di sisi lain, sebanyak 55 negara tidak mengakui Palestina sebagai negara.
Amerika, Perancis dan Inggris, yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya demokrasi, masih belum mengakui negara Palestina. Mereka juga menutup mata terhadap kebijakan ilegal Israel. Ketiga negara ini bahkan menyatakan tidak akan mengakui Palestina sebagai negara sampai konflik dengan Israel diselesaikan secara damai.
Tidak Memanfaatkan Momentum
Dalam Journal UIN Jakarta, era Mandat Inggris disebut sebagai akar kegagalan Palestina mendirikan negara merdeka. Saat Inggris angkat kaki dari Palestina pada 1948, rakyat Palestina tidak buru-buru memanfaatkan momentum tersebut sehingga pihak Yahudi mengambil kesempatan itu dengan mendirikan Israel.
Negara Tetangga Mementingkan Hasrat Politik
Alasan kenapa Palestina sulit mendapat kemerdekaan selanjutnya adalah karena campur tangan negara-negara Arab yang bertetangga yang memecah Palestina demi kepentingannya. Negara-negara anggota Liga Arab dan tentaranya ternyata lebih mementingkan hasrat politik dan keinginan menguasai daerah Palestina untuk kepentingan negaranya masing masing.
Pada akhirnya, wilayah Palestina semakin berkurang. Sementara sisa wilayah Palestina yang tidak direbut oleh Israel dicaplok oleh negara Arab yang membantunya, yaitu Mesir dan Yordania.
Tidak Adanya Kesepakatan Bersama
Dunia internasional terus mendorong solusi damai antara Palestina dan Israel berdasarkan prinsip “solusi dua negara”, sebagaimana diterima oleh masyarakat internasional dan diamanatkan dalam berbagai resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Namun berbagai tantangan semakin menghalangi perjalanan proses perdamaian antara keduanya.
Mengutip Reuters, solusi dua negara adalah landasan proses perdamaian yang didukung AS yang diwujudkan dalam Perjanjian Oslo tahun 1993, yang ditandatangani oleh Yasser Arafat dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin.
Perjanjian tersebut membuat PLO mengakui hak Israel untuk hidup dan menolak kekerasan serta mengakui pembentukan Otoritas Palestina (PA), yang memiliki otonomi terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Palestina berharap ini akan menjadi langkah menuju negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Akan tetapi dalam prosesnya sering dilanda penolakan dan kekerasan di kedua sisi.
Keterlibatan Pihak Ketiga
Peran dan dukungan pihak ketiga juga memainkan peran krusial dalam sulitnya Palestina meraih kemerdekaan. Keterlibatan besar-besaran Amerika Serikat sebagai sekutu Israel dan intervensi kebijakan luar negeri di kawasan tersebut telah menjadi kendala signifikan.
Amerika Serikat yang dikenal aktif menyuarakan proses perdamaian Palestina-Israel pada masa kepemimpinan Donald Trump, secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 6 Desember 2017. Amerika Serikat bahkan memindahkan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 14 Mei 2018.
Situasi Sulit Bangsa Palestina
Mengutip IEMed.org, Palestina masih menghadapi situasi sulit di tingkat lokal, regional, dan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga dianggap sulit untuk merdeka. Posisi militer, ekonomi, dan internasional Israel masih jauh lebih tinggi dibanding Palestina. Sebaliknya, rakyat Palestina berada pada titik terendah dalam hal kekuatan politik, karena perpecahan internal, krisis kepemimpinan, dan tidak adanya proyek nasional yang jelas.