CakapCakap – Cakap People! Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, Tom Andrews menyatakan kemarahannya atas kabar eksekusi mati empat aktivis demokrasi negara itu. Andrews menegaskan bahwa tindakan junta militer Myanmar tersebut harus menjadi titik balik bagi komunitas internasional.
“Tindakan kejam ini harus menjadi titik balik bagi komunitas internasional,” katanya dalam sebuah pernyataan, Senin 25 Juli 2022 seperti dilansir Reuters.
“Hati saya tertuju pada keluarga, teman, dan orang-orang terkasih mereka dan tentu saja semua orang di Myanmar yang menjadi korban kekejaman junta yang meningkat,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan eksekusi ini sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap hak untuk hidup.”
Hal serupa disampaikan Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) yang mengutuk eksekusi mati empat aktivisi demokrasi tersebut.
“Sangat sedih mengutuk kekejaman junta dengan istilah yang paling keras jika itu yang terjadi,” kata juru bicara kantor presiden NUG Kyaw Zaw kepada Reuters melalui pesan.
NUG yang merupakan pemerintahan bayangan yang dilarang oleh militer yang berkuasa meminta komunitas internasional menghukum kekejaman junta.
“Komunitas global harus menghukum kekejaman mereka,” kata Zaw.
Hukuman mati keempat aktivis demokrasi Myanmar itu juga mendapat kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi manusia, Amerika Serikat, dan Prancis.
Keempat pria itu dijatuhi hukuman mati dalam persidangan tertutup pada Januari setelah dituduh membantu milisi untuk melawan militer, yang merebut kekuasaan dalam kudeta Februari 2021 yang dipimpin oleh Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Phyo Zeya Thaw, mantan legislator dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi, dan aktivis demokrasi terkemuka Kyaw Min Yu dinyatakan bersalah atas pelanggaran di bawah undang-undang anti-terorisme.
Thaw, seorang artis hip-hop yang sebelumnya ditahan karena liriknya, dituduh memimpin serangan terhadap pasukan keamanan, termasuk penembakan di kereta komuter di Yangon pada Agustus yang menewaskan lima polisi.
Dua pria lainnya, Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, dijatuhi hukuman mati karena diduga membunuh seorang wanita yang mereka tuduh sebagai informan pemerintah militer di Yangon.
Eksekusi tersebut menandai penggunaan pertama hukuman mati di negara Asia Tenggara itu dalam beberapa dasawarsa. Eksekusi yudisial terakhir terjadi pada akhir 1980-an, menurut Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok aktivis. Eksekusi di Myanmar sebelumnya dilakukan dengan cara digantung.