CakapCakap – Cakap People! Setidaknya satu juta orang dari kelompok masyarakat adat yang tinggal di hutan berbagai pelosok Indonesia berpotensi gagal menggunakan hak pilih karena buta huruf.
Atas dasar asas rahasia, mereka tak boleh didampingi kerabat saat mencoblos di bilik suara. Niat menitipkan harapan pada calon pemimpin agar mereka keluar dari jerat kemiskinan dan keterasingan pun terancam pupus.
Hingga jelang pemilu, KPU urung menerbitkan kebijakan tunggal atas persoalan ini. Pemilih buta huruf diminta mengidentifikasi warna dan simbol partai dalam surat suara, terutama yang tak memuat foto peserta pemilu.
“Saya tidak bisa baca, dulu tidak ada guru atau sekolah, tidak ada yang mengajari saya membaca,” kata Liding (60 tahun), warga adat Dayak Meratus di Dusun Linau, Desa Pembakulan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Liding adalah satu dari ribuan warga Dayak Meratus di Hulu Sungai Tengah yang memegang hak pilih—belum ada data sensus resmi yang menghitung populasi kelompok adat ini. Setengah dari mereka tak bisa baca-tulis.
“Saya kecewa pada pemerintah, tapi tetap akan ikut dan mendukung pemilu.”
“Walau sudah pernah ikut pemilu, tidak ada perubahan, kami masih miskin, masih susah sekali,” ujar Liding saat ditemui di rumahnya, pertengahan Maret lalu.
Jika jadi menggunakan hak pilihnya, pada 17 April mendatang Liding akan menerima lima lembar surat suara.
Tiga dari lima surat suara itu tak dilengkapi foto, melainkan hanya berisi nama calon anggota DPR serta DPRD tingkat provinsi dan kabupaten.
Adapun, dua surat suara lainnya berisi foto pasangan calon presiden-wakil presiden dan calon anggota DPD.
Berdasarkan pemetaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), warga Dayak Meratus tersebar di sembilan kabupaten di Kalimatan Selatan.
Jumlah kelompok itu diperkirakan terdiri dari puluhan sampai ratusan ribu orang dan setengah dari mereka tuna aksara.
Ketidakmampuan membaca dan menulis itu berkelindan dengan kondisi serba terbatas dan terasing yang dihidupi orang-orang Dayak Meratus.
Dusun Linau misalnya, berjarak dua jam berjalan kaki dari pusat Desa Pembakulan, melewati jalan berbatu terjal yang naik-turun.
Selain jalan kaki, hanya ada opsi berkendara motor dari Pembakulan ke Linau, meski tak seluruh keluarga mampu membeli kendaraan roda dua ini.
Selain Pembakulan, terdapat puluhan desa lain di Pegunungan Meratus yang lebih sukar diakses, salah satunya Desa Juhu yang harus ditempuh 18 jam jalan kaki melewati hutan dan gunung.
Desa Pembakulan baru mendapat fasilitas sekolah tingkat dasar pada tahun 1982. Hampir sebagian besar warga Meratus yang kini berusia berusia di atas 50 tahun tak sempat mengeyam pendidikan dasar itu.
Galuh, warga Dusun Linau, masuk kategori tersebut. Walau buta huruf dan berpotensi salah coblos, ia menilai pemilu adalah momentum Dayak Meratus keluar dari ‘diskriminasi pembangunan’.
“Dulu tidak ada satupun guru, jadi saya sama sekali tidak tahu cara membaca…Kalau ada yang menemani, saya bisa mencoblos. Bisakah panitia membantu saya?” tuturnya.
Menetap di hutan sepanjang Pegunungan Meratus sejak ratusan tahun lalu, kelompok adat ini hidup tanpa layanan listrik.
Tak ada pula fasilitas jalan yang memadai. Sebagian besar warga Meratus memikul dan berjalan kaki saat memasarkan hasil bumi seperti beras, karet dan kayu manis ke ibu kota kabupaten, Barabai.
Aspuri (46) menyebut kelompoknya tak mau menyia-nyiakan hak pilih meski harus berjalan kaki selama dua jam menuju tempat pemungutan suara.
“Jarak dari rumah ke TPS sekitar delapan kilometer. Kami tidak punya kendaraan, harus jalan kaki. Itu halangan. Tapi kami harus memilih, jadi kami akan tetap jalan ke sana,” ujarnya.
“Kami berharap yang terpilih menjadi pemimpin akan memperhatikan desa kami.”
“Kami ketinggalan, dari ekonomi, jangkauan listrik, pendidikan, kami sangat lemah karena tempat tinggal kami jauh,” kata Aspuri.
3,4 Juta Orang Indonesia Buta Huruf
Merujuk data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah penduduk buta huruf di Indonesia mencapai 3,4 juta orang pada tahun 2018.
Sebagian besar warga tuna aksara ini berusia di atas 45 tahun. Mereka adalah bagian dari komunitas adat atau penduduk di kawasan yang disebut pemerintah dengan istilah 3T: terpencil, tertinggal, dan terluar.
Adapun menurut catatan AMAN, setidaknya satu juta anggota masyarakat adat tak bisa membaca.
Menurut Robby, pegiat AMAN di Hulu Sungai Tengah, warga Dayak Meratus yang tuna aksara semestinya diperlakukan seperti kelompok disabilitas.
Artinya, kata Robby, mereka yang buta huruf diperkenankan mendapat pendampingan dari kerabat saat mencoblos di bilik suara.
“Namun KPU tidak kunjung memberi rujukan bagi pemilih tuna aksara yang hendak memilih. Ini memunculkan kegamangan di kalangan warga Meratus,” ujar Robby.
Damanhuri, Kepala Desa Pembakulan, menyebut warga Meratus yang buta huruf khawatir suara mereka bakal sia-sia, baik akibat salah coblos maupun surat suara yang berpotensi dianggap tidak sah.
Apalagi, kata Damanhuri, warga Dayak Meratus kini cenderung bakal memberi suara untuk dua anggota komunitas adat mereka yang bertarung di tingkat DPRD kabupaten.
“Yang jelas, suara kan hak mereka, tapi suara itu harus bermanfaat,” ujarnya.
“Warga jelas antusias karena mereka ingin mendapat pengakuan adat melalui anggota dewan yang mereka usung. Kalau tidak memilih, harapan itu tidak akan jelas.”
Tanggapan KPU
Saat dikonfirmasi, KPU mengaku belum dapat memberi solusi menyeluruh bagi pemilih buta huruf, termasuk di kelompok adat. Pemegang hak suara tuna aksara hanya diminta mengidentifikasi pilihan mereka melalui warna maupun simbol partai dalam surat suara.
“Surat suara kan tidak hanya tulisan, tapi ada gambar, mungkin itu bisa dikenali oleh mereka,” kata Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik, di Jakarta, 25 Maret lalu.
Jalan keluar lain yang disebut Evi berlaku bagi pemilih tuna aksara yang masuk kategori tua atau renta. Mereka, kata Evi, dapat mengajukan formulir pendampingan ke panitia pemungutan suara.
Akibat KTP, Warga Adat Juga Kehilangan Suara
Persoalan buta huruf adalah satu dari sederet hambatan masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Permasalahan besar lainnya dipicu aturan soal KTP elektronik sebagai dasar penggunaan hak suara.
AMAN mencatat, saat ini 3,2 juta anggota kelompok adat tinggal di kawasan hutan lindung dan konservasi. Setengah dari populasi itu tak memiliki e-KTP.
Kendala geografis menyulitkan mereka merekam e-KTP ke kantor Dinas Kependudukan yang berada di luar hutan.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri menyatakan sistem penerbitan kartu identitas nasional merujuk pada batas dan kode wilayah. Padahal, tak ada domisili pasti bagi warga adat di kawasan hutan.
“Mereka warga desa tertentu, turun-menurun di sana, tapi belum punya e-KTP. Ini harus dicari jalan keluar,” kata pakar pemilu, Hadar Nafis Gumay.
“Seharusnya ada orang yang mendampingi warga adat yang mengkonfirmasi bahwa betul mereka adalah warga desa tersebut dan telah lama tinggal di sana.”
“Penyelenggara pemilu juga bisa datang mengecek pemilih satu persatu, lalu membuatkan kartu pemilih. Intinya hal seperti itu sebenarnya bisa diupayakan,” kata Hadar.
Merujuk surat Dirjen HAM, Mualimin Abdi, kepada KPU dan Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 10 September 2018, kini terdapat 777 kelompok adat yang tinggal di dalam hutan lindung dan 121 komunitas adat di hutan konservasi.
Mereka yang rentan kehilangan hak pilih akibat tak memiliki e-KTP antara lain kelompok adat Nolobuhu di Jayapura dan komuntas adat Rakyat Penunggu di Deli Serdang.
Mualimin berkata, KPU perlu melakukan tindakan khusus untuk memastikan kesetaraan kesempatan pada seluruh kelompok warga dalam pemilu, terutama bagi masyarakat adat.
KPU juga direkomendasikan membuka TPS keliling di kawasan hutan, khususnya yang terisolasi akibat konflik agraria dan konservasi.
Namun hingga saat ini, kata Evi Novida dari KPU pusat, “pemilih adalah mereka yang mempunyai e-KTP.”
Evi berkata, ketentuan itu hanya dapat berubah jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi terhadap pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 tentang Pemilu.
Source: BBC Indonesia
One Comment
Leave a ReplyOne Ping
Pingback:Gokil! Di Australia Ada 65.000 WNI yang #NyoblosDiRantau - CakapCakap