CakapCakap – Cakap Peple! Israel dilaporkan telah memblokir bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, Palestina, Minggu 2 Maret 2025, setelah fase pertama gencatan senjata berakhir. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kekurangan makanan terjadi lagi di Gaza.
Dilansir dari The New Arab, keputusan Israel muncul saat pembicaraan tentang perpanjangan gencatan senjata tampak menemui jalan buntu, setelah fase pertama gencatan senjata selama 42 hari berakhir.

Sebagai informasi, gencatan senjata antara Hamas dan Israel akhirnya resmi berlaku di Jalur Gaza Palestina pada 19 Januari 2025 sekitar pukul 11.15 waktu setempat. Dilansir dari CNN, kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas saat ini disusun dalam tiga fase berbeda. Fase pertama diharapkan akan dimulai pada 19 Januari 2025 dan berlangsung selama enam minggu. Fase ini akan meliputi gencatan senjata, penarikan pasukan Israel, pertukaran sandera dan tahanan, dan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Kini enam minggu telah berlalu, Israel disebut telah memblokir masuknya bantuan kemanusiaan di Gaza. Dilansir dari AFP, mediator Mesir dan Qatar menuduh Israel melanggar hukum humaniter dengan menggunakan kelaparan sebagai senjata.
Tindakan Israel Menuai Kecaman dari Banyak Pihak
Pada fase pertama gencatan senjata, ada lonjakan bantuan kemanusiaan di Gaza, setelah berbulan-bulan warganya mengalami kelaparan selama genosida yang dilakukan Israel. Dilansir dari AFP, Hamas menuduh Israel mencoba menggagalkan fase kedua gencatan senjata, beberapa jam setelah fase pertama berakhir. Hamas menyebut keputusan Israel untuk menghentikan bantuan kemanusiaan yang masuk sebagai “kejahatan perang dan serangan terang-terangan”.
Pada fase kedua ini, Hamas dapat membebaskan puluhan sandera yang tersisa sebagai imbalan atas penarikan pasukan Israel dari Gaza dan gencatan senjata yang langgeng. Negosiasi pada tahap kedua dimaksudkan untuk dimulai sebulan yang lalu tetapi belum dimulai.
Israel mengatakan bahwa proposal baru Amerika Serikat (AS) menyerukan perpanjangan tahap pertama gencatan senjata, yaitu mulai Ramadan hingga Paskah, yang berakhir pada tanggal 20 April 2025.
Berdasarkan proposal tersebut, Hamas akan membebaskan setengah dari sandera pada hari pertama dan sisanya saat kesepakatan gencatan senjata permanen tercapai, kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Mengenai hal ini, belum ada konfirmasi resmi dari AS bahwa rencana perpanjangan itu berasal dari Washington. Netanyahu mengatakan Israel sepenuhnya berkoordinasi dengan pemerintahan Trump dan gencatan senjata hanya akan berlanjut selama Hamas terus membebaskan sandera.
Namun, Hamas telah berulang kali menolak perpanjangan, dan sebaliknya lebih memilih transisi ke fase kedua kesepakatan gencatan senjata yang dapat mengakhiri perang secara permanen, sebagaimana dilansir dari The New Arab.

Tindakan Israel ini menuai kecaman dari banyak pihak. Arab Saudi mengecam pemblokiran bantuan tersebut sebagai “alat pemerasan dan hukuman kolektif”. Yordania mengatakan tindakan Israel “mengancam akan memicu kembali” pertempuran di Gaza.
Sementara itu, Kepala Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan agar “bantuan kemanusiaan segera mengalir kembali ke Gaza”. Kepala kemanusiaan PBB Tom Fletcher menyebut keputusan Israel “mengkhawatirkan,” seraya mencatat bahwa hukum humaniter internasional menegaskan bahwa akses bantuan harus diizinkan. Lembaga amal medis MSF menuduh Israel menggunakan bantuan sebagai alat tawar-menawar, menyebutnya “tidak dapat diterima” dan “keterlaluan.”
Di sisi lain, keluarga sandera kembali mendesak pemerintah Israel.
“Menunda negosiasi kesepakatan untuk pembebasan semua orang tidak boleh dilakukan,” kata Lishay Miran-Lavi, istri sandera Omri Miran, di Tel Aviv. “Para sandera tidak punya waktu untuk menunggu kesepakatan yang ideal.”
Sejak genosida yang dilakukan Israel di Gaza pada Oktober 2023, sebagian besar penduduk Gaza yang berjumlah lebih dari 2 juta orang bergantung pada bantuan internasional. Sekitar 600 truk bantuan telah masuk setiap hari sejak gencatan senjata dimulai pada 19 Januari, dan hal ini meredakan kekhawatiran akan kelaparan yang dikemukakan oleh para ahli internasional.
Namun, penduduk setempat mengatakan harga-harga melonjak saat berita penutupan bantuan kemanusiaan tersebut menyebar. Dari kamp pengungsi perkotaan Jabaliya yang hancur parah, Fayza Nassar mengatakan penutupan tersebut akan memperburuk kondisi yang mengerikan.
“Akan ada kelaparan dan kekacauan,” katanya.
“Harga-harga naik dan orang-orang panik tentang pasokan makanan,” ujar warga lainnya di Gaza, Belal al-Helou.
Badan-badan PBB dan kelompok-kelompok bantuan menuduh Israel tidak memfasilitasi cukup banyak bantuan selama 15 bulan Israel melakukan genosida di Palestina.
Mahkamah Pidana Internasional mengatakan ada alasan untuk percaya bahwa Israel telah menggunakan “kelaparan sebagai metode peperangan” ketika mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu tahun lalu. Tuduhan itu juga menjadi inti kasus Afrika Selatan di Mahkamah Internasional yang menuduh Israel melakukan genosida.
Serangan yang dilancarkan Israel di Palestina sejak 7 Oktober 2023 hingga saat ini telah menelan begitu banyak korban. Menurut laporan dari PBB, mayoritas korban di Palestina adalah perempuan dan anak-anak. Sementara itu lebih dari 1,9 juta warga Palestina terpaksa mengungsi dan kehilangan tempat tinggal mereka. Tak hanya itu, seluruh populasi Gaza berada dalam tingkat krisis kerawanan pangan akut dan ancaman wabah penyakit.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan Gaza, jumlah korban tewas secara keseluruhan sejak 7 Oktober 2023 menjadi 45 ribu lebih. Sekitar 104 ribu orang lainnya terluka dalam serangan Israel.