CakapCakap – Cakap People! Ke’te Kesu merupakan desa tradisional eksentrik yang tersembunyi di wilayah pegunungan TanaToraja, Sulawesi Selatan. Ia terletak di tengah hamparan sawah luas dan merupakan desa tertua di Sanggalangi.
Usia desa Ke’te Kesu diperkirakan mencapai 400 tahun. Uniknya, ia tidak pernah mengalami perubahan sejak pertama kali berdiri. Jika melihat keadaannya saat ini, bisa dibilang bahwa Ke’te Kesu menjadi semacam museum hidup–orang yang mengunjunginya dapat secara langsung melihat budaya dan tradisi unik dari masyarakat Toraja.
Hal yang membuat Ke’te Kesu menarik perhatian adalah keseriusan mereka terhadap kematian. Hal ini dapat dilihat dari ritual maupun upacara pemakaman yang mewah, kuburan yang menggantung, dan situs pemakaman yang penuh dengan dekorasi.
Desa yang tak lekang oleh waktu ini, ditempati oleh sekitar 20 keluarga. Beberapa di antara mereka tinggal dalam Tongkonan–rumah adat masyarakat Toraja. Ada delapan Tongkonan di Ke’te Kesu, diatur berbaris dan berhadapan, lengkap dengan lumbung padi yang terhubung.
Dinding Tongkonan dihiasi dengan tanduk kerbau dan ukiran yang indah–berfungsi sebagai penanda status pemilik rumah. Menurut masyarakat asli Toraja, hanya mereka yang berdarah bangsawan yang boleh membangun Tongkonan. Masyarakat biasa tinggal di rumah yang lebih kecil dengan desain yang tidak terlalu rumit seperti Tongkonan.
Jika dilihat dari luar, Tongkonan memiliki kekhasan bentuk atap seperti perahu besar. Proses pembangunan rumah adat Toraja ini pun cukup sulit. Untuk membangunnya, proses ini harus dibantu oleh seluruh anggota keluarga.
Salah satu Tongkonan telah diubah fungsinya menjadi museum. Ia memamerkan benda-benda unik dan bersejarah dari adat istiadat kuno. Keramik Tiongkok, patung, belati, parang, hingga bendera pertama yang pernah dikibarkan di Toraja pun terpajang di sana. Museum tersebut juga membuka workshop bagi pengunjung yang ingin melatih keterampilannya membuat karya seni dari bambu.
Tidak jauh dari Tongkonan, terdapat batu menhir di tengah sawah–penanda jalan menuju bukit mistis bernama Bukit Buntu Ke’su yang merupakan situs pemakaman kuno berusia 700 tahun. Di jalur bukit yang berbatu, berserakan tengkorak dan tulang manusia. Beberapa di antaranya bahkan menumpuk tinggi dalam bejana besar berbentuk perahu atau sampan.
Pada tebing bukit, dibuat beberapa lubang untuk menguburkan mayat. Berdasarkan tradisi setempat, warga yang berdarah bangsawan akan dimakamkan di lubang tertinggi, sementara orang biasa di kaki bukit. Masyarakat Toraja percaya, semakin tinggi lokasi seseorang dikubur, maka semakin mudah jalan mereka menuju surga.
Beberapa makam adat di Ke’te Kesu telah ditutup dengan jeruji besi untuk mencegah pencurian patung jenazah adat (tau-tau). Sebab, beberapa jenazah dapat dilihat jelas dari luar bersama dengan harta yang dikuburkan di dalamnya. Ada pula peti mati yang menggantung di dinding bukit. Peti kayu tersebut diukir dengan akurasi dan keindahan yang luar biasa.
Warga Ke’te Kesu dikenal sebagai pengrajin yang sangat terampil. Ornamen unik pada bambu atau batu diukir dengan abstrak atau geometris. Beberapa suvenir yang mereka buat, bisa kamu beli di sana.
Termasuk tatakan gelas, perhiasan, hiasan dinding, tau-tau, dan bahkan senjata tradisional. Harganya beragam, mulai dari yang murah hingga mahal. Untuk hiasan dinding yang rumit dan lukisan berukir misalnya, dapat dibanderol dengan harga jutaan rupiah.
Dengan keunikkan dan kekhasan tradisi mereka, desa Ke’te Kesu menjadi salah satu warisan megah Toraja yang patut kamu kunjungi.
Cara Menuju ke Ke’te Kesu
Untuk sampai ke Ke’te Kesu, kamu harus naik pesawat terlebih dahulu ke Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Selanjutnya, perjalanan dilakukan melalui jalur darat.
Tersedia bus dari Makassar menuju Rantepao Toraja. Perjalanan ke Rantepao memakan waktu selama delapan jam. Jika sudah sampai di Toraja, kamu harus melakukan perjalanan satu jam lagi ke desa Ke’te Kesu.
Source : National Geographic