CakapCakap – Cakap People! Indonesia akan mengirim kembali 79 kontainer bahan berbahaya ke Australia, Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat mulai Januari 2021. Demikian diungkapkan pemerintah baru-baru ini.
Melansir The Jakarta Post, Kementerian Luar Negeri telah memanggil utusan keempat negara itu untuk memberi tahu mereka tentang rencana tersebut pada hari Rabu, 23 Desember 2020, menurut pernyataan kementerian yang diterbitkan pada hari Kamis, 24 Desember 2020.
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa, Ngurah Swajaya, mengatakan langkah itu sesuai dengan hukum internasional, yakni Konvensi Basel tentang Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya. Perjanjian tersebut dirancang untuk mengurangi pergerakan bahan berbahaya antar negara, khususnya untuk mencegah perpindahan limbah berbahaya dari negara maju ke negara kurang berkembang.
“Sesuai dengan Konvensi Basel […], impor lintas negara yang mengandung limbah beracun tidak diperbolehkan. Pemerintah Indonesia harus mengembalikannya ke negara asal,” ujarnya kepada duta besar.
Ngurah mengatakan kontainer-kontainer tersebut telah diverifikasi oleh berbagai instansi pemerintah termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Polri.
“Sebanyak 79 kontainer yang akan diekspor kembali tersebut merupakan bagian dari total 107 kontainer yang telah disita pemerintah Indonesia karena mengandung limbah B3, sedangkan 28 kontainer sisanya akan diperiksa ulang,” imbuhnya.
Kontainer-kontainer tersebut disita pada tahun 2019, di mana Indonesia bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya menghadapi peningkatan tajam pengiriman sampah plastik dari negara maju ke negara berkembang menyusul keputusan China untuk melarang impor 24 jenis bahan limbah.
Sampah tidak berbahaya yang sebagian besar berupa kertas bekas bersih dimaksudkan untuk digunakan oleh perusahaan daur ulang kertas di Indonesia. Namun, sebagian besar kargo ditemukan terkontaminasi oleh limbah berbahaya seperti popok tua dan plastik, yang ditolak oleh bisnis dan berakhir di tempat pembuangan sampah.