CakapCakap – Cakap People, sejak awal pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan oleh pemerintah dan DPR RI memang disikapi begitu kritis oleh organisasi-organisasi buruh. Mereka menolak pengesahan Omnibus Law karena dinilai memangkas hak para pekerja lewat revisi aturan.
Agar aspirasi para buruh didengar, mereka pun melakukan berbagai aksi diantaranya demo massal. Selain itu, mereka juga mengirim satire atau sindiran kepada para anggota DPR RI melalui media sosial. Beberapa jam lalu, disalah satu marketplace e-commerce terlihat beberapa gambar gedung DPR RI dijual dengan harga sangat murah.
Ada yang membanderol dengan harga Rp2.500, tak hanya satu akun saja ada beberapa akun yang menawarkan dengan harga bervariatif. Penjual menampilkan foto muka gedung DPR yang berada di kawasan Senayan, DKI Jakarta tersebut, pada halaman penawaran produk yang dijualnya itu.
“Gedung 80 persen masih bagus minus isinya sudah bobrok,” ungkap azizwr_02 dalam penawaran produk di Shopee. Akun azizwr_02 ini menjual gedung DPR dengan harga Rp10 ribu.
Ada pula penjual lain yang menawarkan gedung DPR seharga Rp90 ribu sebagaimana yang ditulis oleh akun harga rizkysity.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar akhirnya meminta aparat kepolisian untuk menindak tegas orang dibalik akun yang menjual Gedung DPR diatas.
Menurutnya, lelucon semacam ini bukanla tindakan yang pantas dilakukan karena Gedung DPR merupakan barang milik negara (BMN).
“Menurut saya, kepolisian juga harus mengambil tindak tegas. Ini kan BMN negara. Jadi joke-joke semacam itu saya kira tidak pada tempatnya,” kata Indra.
Diungkap dalam laman CNN Indonesia, meskipun berharap diusut sampai tuntas tapi Indra mengatakan pihaknya tidak akan membuat laporan ke polisi. Indra juga mengaku tidak akan mempersoalkan penjualan tersebut. Akan tetapi ia menyerahkan hal tersebut kepada Kementerian Keuangan dan pihak kepolisian untuk menindaklanjuti lebih jauh.
Sebelumnya, sindirian dengan cara menjuall gedung DPR juga pernah terjadi saat para wakil rakyat menyetujui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002. UU tersebut berisi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik menentang keras terkait revisi tersebut.