CakapCakap – Cakap People! Banyak orang awam memandang cacar monyet sebagai penyakit “gay”. Para ahli kesehatan menekankan bahwa anggapan tersebut keliru dan cacar monyet bisa mengenai siapa saja, tanpa memandang orientasi seksual.
“Cacar monyet bukan penyakit gay, dan begitu juga penyakit-penyakit menular lain,” ujar dokter dan ahli virus Dr Boghuma Kabisen Titanji, seperti dilansir Insider, Minggu, 22 Mei 2022.
Pada Jumat lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menekankan bahwa siapa pun yang berkontak erat dengan penderita cacar monyet bisa berisiko tertular. Kelompok yang berisiko ini termasuk tenaga kesehatan, orang-orang yang tinggal serumah, dan pasangan seksual dari penderita cacar monyet.
“Menstigmatisasi kelompok tertentu karena sebuah penyakit tidak dapat diterima,” jelas WHO.
Anggapan bahwa kasus cacar monyet berkaitan dengan orientasi seksual sesama jenis bermula dari ditemukannya lebih banyak kasus cacar monyet pada pria. Padahal, hal ini bukanlah bukti bahwa wabah cacar monyet yang saat ini muncul merupakan varian baru yang hanya mengenai pria, terutama pria penyuka sesama jenis atau gay.
Secara umum, cacar monyet bisa ditularkan dari satu manusia ke manusia lain melalui kontak yang sangat erat. Virus ini bisa menyebar melalui permukaan benda yang terkontaminasi, seperti seprai hingga baju. Penyakit ini semakin mudah menular lewat kontak dengan kulit penderita cacar monyet.
Adanya kecenderungan bahwa pria lebih banyak terkena cacar monyet membuat para ahli berpikir bahwa virus monkeypox saat ini mungkin bisa menular lewat cara lain. Salah satunya adalah melalui hubungan seksual.
“Dan kami perlu mengetahui itu. Karena bila itu benar, itu sesuatu yang baru, belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Prof Jimmy Whitworth dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.
Ahli epidemiologi Andrea McCollum dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengungkapkan bahwa kasus cacar monyet telah menunjukkan peningkatan di Afrika dalam beberapa tahun ke belakang. Di Nigeria misalnya, selama 39 tahun negara tersebut telah bebas dari cacar monyet. Namun secara tiba-tiba, kasus cacar monyet bermunculan dalam jumlah yang cukup banyak.
Menurut McCollum, meningkatnya kembali kasus cacar monyet ini bisa disebabkan oleh beberapa kondisi. Salah satu di antaranya adalah kesuksesan vaksinasi smallpox cacar yang tak dilanjutkan.
Seperti diketahui, cacar telah tereradikasi di seluruh dunia pada 1980. Sejak saat ini, banyak orang yang tak lagi mendapatkan vaksin smallpox.
Di sisi lain, virus smallpox dan monkeypox memiliki hubungan yang erat. Vaksin smallpox juga dapat memberikan proteksi terhadap monkeypox. Akan tetapi, lebih dari 70 persen orang di dunia saat ini tak memiliki kekebalan terhadap monkeypox karena tidak mendapatkan vaksin smallpox.
Saat ini, kasus cacar monyet telah teridentifikasi di 11 negara dengan total 140 kasus terkonfirmasi dan suspek. Menurut McCollum dan ahli penyakit menular Prof Whitworth, kemunculan cacar monyet tak perlu memicu kekhawatiran berlebih.
“Kemungkinannya jumlah kasus (cacar monyet) tak akan menjadi sangat besar. Penyakit ini kemungkinan bukan pandemi berikutnya, kami tak berpikir demikian,” ungkap Prof Whitworth.
Salah satu kesulitan yang dihadapi para ahli dalam menghadapi wabah ini adalah banyak pasien yang tak memiliki hubungan kontak yang jelas antara satu sama lain. Banyak dari pasien yang tak bepergian ke negara-negara endemik seperti Kongo, Nigeria, atau Kamerun.
Salah satu gejala khas dari cacar monyet adalah kemunculan bintil-bintil merah atau lesi di kulit. Bintil-bintil merah ini kerap terlihat di area wajah, telapak tangan, dan bagian bawah kaki.
“Pada kasus-kasus di Eropa, masalah kulit semakin sering dilaporkan terlokalisasi di area genital, selangkangan, dan kulit di sekitar pembukaan anal,” jelas otoritas kesehatan Swedia.