CakapCakap – Cakap People, umumnya para CEO memiliki gaji yang lebih besar dibanding para karyawannya. Tentu saja fenomena tersebut membuat kamu bertanya-tanya bukan?
Namun baru-baru ini terdapat penelitian yang menyelidiki mengapa gaji CEO mencapai ratusan hingga ribuan kali lipat lebih besar dari karyawan biasa. Padahal karyawan biasanya bekerja penuh waktu. Ingin tahu alasannya? Simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Fenomena Gaji CEO Lebih Besar dari Karyawan Biasa
Dilansir dari laman BBC, menurut penelitian yang dilakukan dari High Pay Center yang merupakan lembaga kajian independen berpusat di London menyebutkan jika kepala eksekutif FTSE 100 mendapatkan rata-rata gaji £3,6 juta atau setara dengan Rp 69 juta miliar dalam satu tahun. Nominal tersebut seratus kali lipat dari yang didapatkan oleh pegawai penuh waktu.
Tetapi ada realita yang lebih ekstrem di seberang Samudra Atlantik. Hal tersebut ditunjukkan oleh Analisis Economis Policy Institute, yakni lembaga kajian berbasis di Washington DC.
Mereka menunjukkan jika kepala eksekutif dari 350 perusahaan terbesar di AS mendapatkan sekitar $21,3 juta atau sekitar Rp 299 miliar pada tahun 2019. Berbekal fakta tersebut, maka rasio antara CEO dan pekerja di negara itu ialah 320 banding 1 atau lebih dari 5 kali lipat level di tahun 1989 silam.
Fakta tersebut muncul kala pandemi Covid-19 mulai memperburuk ketimpangan di seluruh penjuru dunia. Bahkan mereka yang memiliki penghasilan rendah lebih berisiko mengalami kondisi kurang menyenangkan. Seperti risiko kesehatan, hilangnya pekerjaan, hingga tingkat kesejahteraan yang menurun.
Digaji Berdasarkan Harga Saham
Ternyata kesenjangan gaji eksekutif itu bermula pada kebijakan yang ditetapkan di sekitar tahun 80-an. Kebijakan itu diberlakukan oleh Presiden Ronald Reagan di AS serta pemerintahan PM Margaret Thatcher di Inggris.
Folosofi politik keduanya mendorong privatisasi sektor publik, deregulasi, serta kapitalisme pasar bebas. Mereka juga tak menyukai serikat pekerja, sehingga mengurangi kapasitas organisasi guna melakukan advokasi untuk pekerja.
Sandy Pepper yang merupakan pengamat di London School of Economics sempat menerbitkan makalah yang mengekspos perihal kesenjangan gaji terbuka antara CEO serta tenaga kerja yang lebih luas.
Namun ia menyebut jika sistem sebelumnya ‘rusak’ saat gaji eksekutif dihubungkan dengan harga saham serta skema ‘penghargaan berbasis aset’ yang lepas landas tepat di bawah ideologi neoliberalisme.
Berdasarkan analisis Pepper pada data FTSE 100 sedari tahun 2000 menunjukkan jika gaji semua karyawan rata-rata naik kurang lebih 3 persen setahun, namun gaji CEO melambung sampai sekitar 10 persen tiap tahunnya.
Menurutnya, logika yang dijadikan acuan sebagai pembayaran CEO ialah sesuai dengan kinerja keuangan perusahaan. Sebab mereka pemegang faktor terpenting dari kesuksesan suatu perusahaan.
Sehingga selain gaji pokok, ada juga bonus bagi CEO terkait kinerja dan opsi saham yang mungkin digunakan untuk membeli saham perusahaan dengan harga yang tetap.
Dengan kata lain, saat kekuasaan para pemegang saham kian tumbuh serta permintaan mereka terhadap harga saham makin melonjak, maka bisa berujung pada paket gaji yang melambung untuk para CEO. Hal itu juga disetujui oleh dewan direksi yang hendak menyenangkan para investor mereka Cakap People.