CakapCakap – Cakap People! Kekurangan air rumah tangga yang parah dihadapi dua dari lima orang di dunia telah merusak upaya untuk mengatasi pandemi virus corona.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selalu menyerukan bahwa mencuci tangan dengan frekuensi yang sering dan menyeluruh adalah di antara langkah-langkah paling efektif untuk mencegah penyebaran virus corona karena jalur utama penularan virus ini adalah melalui tetesan atau droplet dan kontak langsung. Meski begitu, rupanya masih ada miliaran orang di dunia ini masih menghadapi kekurangan air.
Hasil penelitian kelomppok PBB, UN Water,mengungkapkan bahwa sekitar 3 miliar orang di dunia ini yang tidak memiliki akses ke air mengalir dan sabun di rumah. Tak hanya itu, sebanyak 4 miliar orang lainnya menderita kelangkaan air yang parah setidaknya selama satu bulan dalam setiap setahun.
“Ini adalah situasi bencana bagi orang yang hidup tanpa akses ke air bersih dan sanitasi yang dikelola dengan aman. Kurangnya perhatian di bidang ini telah membuat miliaran orang rentan dan sekarang kita sedang menghadapi konsekuensinya,” ungkap ketua UN-Water, Gilbert F. Houngbo kepada Bloomberg, 8 Agustus 2020.
Penundaan investasi di bidang sanitasi dan air bersih selama bertahun-tahun membuat banyak orang rentan terinfeksi virus corona. Bahkan bagi mereka yang sudah sembuh pun, potensi tertular kembali masih tetap tinggi.
Houngbo mengatakan bahwa dunia perlu menghabiskan 6,7 triliun dolar AS untuk membangun infrastruktur air sampai tahun 2030 nanti. Infrastruktur terkait air bersih ini tidak hanya untuk kebutuhan sanitasi, tetapi juga untuk mengatasi masalah jangka panjang dari kasus pandemi semacam ini serta mencegah potensi krisis pangan di masa mendatang.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa perusahaan telah turun tangan untuk menawarkan solusi. Dari Jepang, ada Lixil Group Corp. yang memiliki merek seperti American Standard dan Grohe. Perusahaan ini bekerja sama dengan UNICEF dan sejumlah mitra lainnya untuk membuat perangkat cuci tangan sederhana yang hanya membutuhkan sedikit air dan mudah dibawa.
Dengan modal sekitar 1 juta dolar AS, mereka mampu membuat 500.000 unit perangkat tadi dan disumbangkan ke 2,5 juta orang di India secara gratis sebelum mulai dijual secara resmi.
Langkah ini dinilai sebagai upaya jangka pendek yang cukup baik di tengah hantaman krisis di tengah pandemi. Meskipun demikian, investasi berkelanjutan dengan nilai besar tetap sangat diperlukan untuk menyalurkan air bersih ke rumah-rumah penduduk.
World Bank turut memberi perhatian pada masalah air bersih ini. Menurutnya, dampak kesalahan pengelolaan ari dirasakan secara tidak proporsional oleh masyarakat miskin.
Masyarakat di kelas itu cenderung lebih mengandalkan air tadah hujan yang juga digunakan untuk pertanian. Air yang berisiko terkontaminasi benda asing ini digunakan untuk kebutuhan sanitasi dan pangan.
Masyarakat kurang mampu juga sulit mematuhi aturan pembatasan sosial karena kerap kali berkumpul dan berebut air bersih di sumber air terdekat.
Pada tahun 2050 mendatang, Houngbo memprediksi akan ada 5,7 miliar orang yang tinggal di daerah yang kesulitan air bersih selama satu bulan tiap tahunnya.
Clarissa Brocklehurst, dari Water Institute di University of North Carolina dan mantan ketua urusan air, sanitasi, dan kebersihan di UNICEF, menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah negara-negara akan pentingnya air bersih untuk saat ini dan masa depan. Di sisi lain, mereka sibuk mengampanyekan budaya cuci tangan yang mungkin sulit dilakukan miliaran orang.
“Mencuci tangan sudah sejak lama saya lihat sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan. Tiba-tiba, ini menjadi masalah hidup dan mati, orang-orang dewasa hanya mengajarkan lagu untuk mencuci tangan,” ungkap Brocklehurst.
Menurut satu perkiraan, setiap derajat pemanasan global akan menyebabkan sekitar 7% populasi dunia mengalami penurunan sumber daya air terbarukan setidaknya 20%. Membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, dibandingkan dengan 2 derajat, dapat mengurangi tekanan air akibat iklim sebanyak 50%.