CakapCakap – Cakap People! Di tengah pandemi virus corona (COVID-19), sejumlah ilmuwan berlomba untuk segera menemukan vaksin agar bisa mengakhiri pandemi ini.
Pencarian yang pesat ini dianggap luar biasa oleh para ahli, terutama mengingat pengembangan vaksin biasanya membutuhkan waktu tahunan, bahkan beberapa dekade.
Misalnya vaksin Ebola yang membutuhkan waktu 16 tahun dari penemuan hingga persetujuan untuk dipakai secara luas.
Normalnya, vaksin harus melalui beberapa tahap, mulai dari laboratorium dan uji coba pada hewan. Jika dianggap aman dan bisa menghasilkan kekebalan, baru uji coba pada manusia dimulai.
Uji coba ini dibagi menjadi tiga tahap. Dimulai dengan sekelompok kecil peserta yang sehat, kemudian pada sekelompok orang yang lebih banyak serta kelompok kontrol untuk mengukur keamanannya dan dosis efektif yang dibutuhkan.
Kini dalam waktu sekitar tiga bulan, ada sekitar 90 tim ilmuwan bekerja membuat vaksin virus corona. Ada enam calon vaksin yang sudah mencapai tahap uji coba manusia, seperti dilaporkan BBC Indonesia, Sabtu, 2 Mei 2020 berikut ini:
Amerika Serikat
Pertama adalah vaksin mRNA-1273 dari Moderna Therapeutics, Amerika Serikat.
Vaksin dikembangkan oleh Moderna, perusahaan bioteknologi yang bermarkas di Massachusetts, dengan menggunakan teknologi baru.
Tujuan vaksin ini adalah “melatih” sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus corona dan mencegah munculnya penyakit.
Pendekatan konvensional biasanya berfokus pada penggunaan virus yang telah dilemahkan dan dibuat nonaktif, atau virus yang telah difragmentasi.
Namun vaksin mRNA-1273 buatan Moderna, yang uji cobanya didanai oleh United States National Institutes of Health (NIH), tidak dibuat dari virus penyebab Covid-19, melainkan berdasarkan kode RNA atau asam nukleat ribosa.
Uji coba dilakukan dengan menyuntikkan segmen kecil kode genetis virus, yang dibuat oleh para ilmuwan di laboratorium, dengan tujuan menghasilkan respons sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi.
Vaksin kedua adalah INO-4800 dari Inovio Pharmaceuticals, AS.
Serupa dengan Moderna, vaksin ini dibuat dengan strategi baru.
Fokusnya adalah dengan penyuntikan langsung DNA melalui plasmid (struktur genetis kecil) ke sel pasien untuk menciptakan antibodi guna melawan infeksi.
Inovio dan Moderna menggunakan teknologi baru yang mencakup modifikasi dan manipulasi materi genetis.
Tantangan
Namun teknologi-teknologi itu belum pernah berhasil memproduksi obat atau terapi yang diizinkan untuk digunakan pada manusia, seperti dijelaskan dr. Felipe Tapia dari Institut Max Planck, Jerman, kepada BBC Mundo.
“Ada harapan yang tinggi dalam pengembangan vaksin-vaksin ini. Namun kita harus lebih hati-hati karena itu semua adalah vaksin yang belum ada sejarahnya,” kata Dr Tapia.
“Bahkan para ilmuwan di Moderna sendiri mengatakan tantangan terbesar bagi mereka adalah memproduksi dan memasarkannya karena kini mereka tak punya lisensi untuk vaksin tipe mRNA,” imbuhnya.
China
China kini punya tiga vaksin yang sedang dalam proses uji coba pada manusia. Ketiganya menggunakan metode produksi yang lebih konvensional.
Vaksin AD5-nCoV dibuat perusahaan bioteknologi CanSino Biologics.
Tanggal 16 Maret, saat Moderna memulai uji coba pada manusia, CanSino Biologics bekerja sama dengan Institut Bioteknologi dan Akademi Ilmu Kedokteran Militer China, menguji vaksin mereka.
Vaksin AD5-nCoV menggunakan adenovirus – virus penyebab flu – sebagai vektor (pengantar). Adenovirus yang digunakan adalah versi yang tidak berkembang biak.
Vektor tersebut membawa gen untuk protein S (spike) dari permukaan virus corona. Dan dengan ini berusaha memancing respons kekebalan tubuh guna melawan infeksi.
China juga tengah melakukan uji coba pada manusia untuk vaksin LV-SMENP-DC dari Institut Kedokteran Genoimun, Shenzen. Vaksin ini berfokus pada penggunaan model sel dendrit yang dimodifikasi dengan vektor dari lentivirus.
Calon berikutnya adalah vaksin yang dibuat dari virus yang telah dinonaktifkan dari Institut Produk Biologi Wuhan, subordinat dari Grup Farmasi Nasional China, Sinopharm.
Tipe vaksin ini dibuat dengan memproduksi partikel virus di reaktor dan memurnikannya sehingga virus kehilangan kemampuan untuk menyebabkan penyakit.
“Ini merupakan teknologi paling lazim, dan merupakan platform produksi vaksin yang paling sering dipakai,” papar dr. Felipe Tapia.
“Teknologi ini produknya sudah mengantungi lisensi untuk dipasarkan”.
“Kebanyakan perkiraan vaksin untuk Covid-19 akan siap antara 12 hingga 16 bulan berdasarkan tipe vaksin ini,” katanya kepada BBC Mundo.
Inggris
Vaksin keenam adalah Vacuna ChAdOx1 dari Jenner Institute, University of Oxford, Inggris.
Uji coba klinis pertama di Eropa dimulai tanggal 23 April untuk mengetes vaksin ini.
Ini adalah jenis vaksin gabungan atau rekombinan, serupa dengan yang dibuat oleh CanSino di China.
Namun tim di Oxford menggunakan versi adenovirus dari simpanse yang telah dilemahkan dengan modifikasi sehingga tidak direproduksi pada manusia sebagai vektor.
“Yang mereka lakukan adalah memproduksi virus dalam reaktor yang tidak berbahaya tapi di permukaan memperlihatkan protein yang sama dengan virus corona. Maka ini akan menghasilkan respons kekebalan tubuh,” kata dr. Tapia.
Para ilmuwan telah berpengalaman menggunakan teknologi ini, antara lain untuk mengembangkan vaksin untuk MERS yang juga disebabkan virus corona.
Hasil uij coba klinis, kata tim ini, memperlihatkan hasil yang positif.
Tantangan produksi masal
Sekalipun kemajuan pesat terjadi dalam pembuatan vaksin Covid-19, para ahli mengatakan tak ada jaminan bahwa penyuntikan atau inokulasi akan berhasil.
Dijelaskan oleh dr. Felipe Tapia, tidak diketahui bagaimana reaksi vaksin ini terhadap jenis populasi berbeda, atau di antara kelompok umur berbeda.
“Ini hanya bisa diketahui seiring waktu,” katanya.
Namun mendapatkan vaksin yang efektif dan persetujuannya barulah langkah pertama.
Lalu akan ada tantangan besar dalam memproduksi miliaran dosis suntikan untuk didistribusikan kepada yang membutuhkan.
“Menurut saya akan ada keterbatasan dalam kemampuan mencapai jumlah produksi yang dibutuhkan, yaitu ratusan juta dosis,” kata dr. Tapia kepada BBC Mundo.
“Jika kita ingin memvaksinasi seluruh planet, akan ada jutaan dosis yang sangat sulit untuk diproduksi,” katanya.
Tantangan paradoks
Satu tantangan lagi adalah paradoks yang terjadi apabila penyebaran virus corona berhasil dikendalikan.
Vaksin hanya bisa dianggap berhasil uji cobanya di lokasi tempat virus menyebar secara alamiah. Jika penyebaran sudah berhenti maka tak ada lagi populasi untuk penyuntikan atau inokulasi.
“Ini akan sangat tergantung pada seberapa cepat virus mengimunisasi seluruh dunia,” kata Dr Tapia.
“Di negara dengan karantina yang ketat, barangkali vaksin akan lebih dulu digunakan daripada munculnya kekebalan kelompok (herd immunity)”.
“Namun di negara dengan kegiatan ekonomi lebih besar seperti Jerman, penyebaran virus bisa memunculkan kekebalan lebih cepat daripada vaksin,” ujarnya.