CakapCakap – Cakap People, tak hanya Indonesia saja yang sedang menghadapi masalah kompleks karena pandemic Covid-19. Semua menghadapi dilema yang sama, merosotnya ekomoni, daya beli masyarakat menurun, penganguran masal hingga angka kematian akibat pandemic yang terus meningkat.
Sama halnya dengan pemerintah Jepang, mereka juga sedang berhadapan dengan masalah ekomomi yang terseok-seok. Selain itu, pemerintah Jepang juga tengah mencari solusi dari populasi masyarakatnya yang didominasi oleh penduduk usia tua.
Dari data yang dihimpun pemerintah Jepang, hampir 1 dari 1.500 orang di Jepang saat ini sudah berusia 100 tahun atau lebih (dalam bahasa lain disebut centenarian).
Dikutip dari CNBC Indonesia, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, saat ini jumlah centenarian sudah menembus angka 80.000 lebih. Data pemerintah yang dirilis pada Selasa pekan ini mencatat, ada 80.450 orang berusia 100 tahun ke atas. Bayangkan saja, jumlahnya bertambah 9.176 dari tahun lalu. Jika di rasio maka setara 1 dari setiap 1.565 orang.
Usia wanita di Jepang jauh lebih panjang daripada pria. Para wanita mendominasi 88% dari semua centenarian di Negeri Sakura tersebut.
Angka yang dirilis pemerintah memperlihatkan rata-rata perempuan Jepang diprediksi bisa mencapai usia hidup hingga 87,45 tahun sedangkan laki-laki sampai 81,41 tahun. Pada tahun1963 jumlah centenarian hanya 153 orang yang berusia 100. Tapi 1988, angka itu membengkak menjadi 10.000.
Artinya, mereka yang sudah berusia lanjut tak lagi produktif sehingga pemerintah harus memberikan jaminan sosial dalam bentuk tunjangan pensiun hingga asuransi kesehatan. Masih diulas dari laman CNBC Indonesia, ditahun 2019, pemerintah Jepang menganggarkan 34 triliun yen (US$ 324 miliar) untuk program jaminan sosial.
Angka ini setara dengan 34% dari APBN Jepang dan kurang lebih 6% dari PDB nominalnya di tahun lalu. Kenyataannya, mayoritas APBN Jepang dialokasikan untuk program jaminan sosial para centarian.
Masalahnya semakin rumit ketika pendapatan pemerintah dari pajak tidak cukup untuk jaminan sosial. Jepang terus menerus mengalami defisit anggaran. Bahkan, angka keseimbangan primer APBN Jepang terus minus.
Pengeluaran pemerintah sebelum pembayaran bunga utang lebih besar dari pendapatan yang diperolehnya. Dalam bahasa lain, kini Jepang lebih besar pasak daripada tiang.