CakapCakap – Cakap People! Seperti negara-negara lain, Kerajaan Arab Saudi juga mengambil langkah-langkah ekstrem seperti lockdown, jam malam dan karantina rumah tangga untuk mengekang penyebaran virus corona (COVID-19). Selama itu diberlakukan, masalah pernikahan dan perceraian menjadi pusat perhatian.
Angka perceraian di Arab Saudi meningkat 30 persen pada bulan Februari setelah penerapan karantina atau lockdown dan jam malam selama pandemi COVID-19. Hal itu disebabkan oleh banyaknya istri yang mengetahui bahwa suami mereka memiliki istri dan keluarga lain, demikian menurut laporan situs berita Gulf News yang berbasis di Dubai pada hari Minggu, 31 Mei 2020.
Dilaporkan kembali pada bulan Februari bahwa angka pernikahan telah meningkat lima persen dibandingkan bulan yang sama tahun lalu, yaitu sebanyak 13.000 pernikahan telah dilakukan dan 542 terdaftar secara online.
Namun, jumlah perceraian pada bulan itu juga mencapai rekor 7.482, itu berarti terjadi peningkatan 30 persen dalam permintaan perceraian dan ‘khula’ —proses di dalam Islam di mana seorang wanita dapat menceraikan suaminya, dengan mengembalikan mahar (mahr) atau sesuatu yang lain yang ia terima dari suaminya, seperti yang disetujui oleh pasangan atau sebagai per keputusan pengadilan. Seorang wanita juga dapat meminta pembatalan tanpa kompensasi jika dia membuktikan bahwa dia telah dirugikan oleh suaminya.
Mengutip statistik dari Kementerian Kehakiman Saudi, Gulf News mencatat bahwa 52 persen permintaan perceraian dan kasus-kasus pada bulan itu berasal dari kota-kota Mekah dan ibu kota Riyadh. Juga dicatat bahwa mayoritas wanita yang meminta cerai dari suami mereka yang berpoligami adalah karyawan, wanita pengusaha, wanita terkemuka di masyarakat dan dokter wanita.
Pengacara di Arab Saudi, Saleh Musfer Al-Ghamdi, mengatakan kepada Gulf News bahwa dalam jangka waktu dua minggu selama bulan itu, dia sendiri telah menerima lima pengajuan perceraian dari para istri.
“Di antara mereka adalah seorang dokter yang mendapati bahwa suaminya menikah diam-diam dengan seorang warga Arab,” kata Al-Ghamdi.
Poligami adalah praktik menikahi lebih dari satu istri. Hal itu adalah sah di dalam agama Islam dan status hukumnya berbeda antara negara-negara mayoritas Muslim. Meskipun legal di negara-negara Teluk Arab, namun hal itu ilegal di negara-negara lain seperti Turki dan Tunisia, dan praktik ini telah lama menjadi bahan perdebatan dan dicap sebagai isu hak-hak perempuan.