in ,

COVID-19: Inilah Contoh Kasus Superspreader Virus Corona di Sejumlah Negara

Indonesia bisa belajar dari penyebaran luas COVID-19 di negara-negara lain yang bermula dari satu orang saja.

CakapCakapCakap People! Tahukah kamu apa yang dimaksud superspreader? Septian Hartono, praktisi kesehatan dan peneliti MRI di salah satu rumah sakit umum di Singapura yang juga menjadi asisten profesor di Duke-NUS Medical School, akan memberikan penjelasan tentang apa itu superspreader dan apa yang bisa kita pelajari dari kasus tersebut.

Apa itu superspreader?

“Superspreader adalah sebutan bagi orang yang menyebabkan orang lain sakit dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari biasanya (Stein, 2011). Data menyebutkan bahwa orang yang sakit Covid-19 dapat menyebabkan 2-3 orang lain sakit (WHO, 2020). Namun, seorang superspreader Covid-19 dapat menularkan kepada 10 orang sampai puluhan kali lipat dibanding orang biasa,” ujarnya.

Ilustrasi COVID-19. [Foto: CNN]

Di dalam tulisannya, Septian memaparkan sejumlah contoh kasus superspreaders Covid-19 sebagai berikut:

Korea Selatan: Pasien #31

Warga Korea terperanjat ketika Pasien #31 Covid-19  dideteksi. Sebelum Pasien #31, Korea Selatan dianggap berhasil menghadang penyebaran Covid-19 karena memberlakukan screening dan pengawasan ketat terhadap orang-orang yang memiliki riwayat perjalanan ke Hongkong, Macau, dan Taiwan.

Dalam empat hari berturut-turut tidak ada penambahan kasus baru. Pasien #31 menjadi pembuka sarang penularan lokal (local transmission) di kota Daegu dan Cheongdo.

Pasien #31 adalah seorang ajumma (sebutan untuk perempuan berumur di atas 50 tahun) dan pengikut sekte Shincheonji. Ia menularkan secara langsung ke setidaknya 43 orang pemeluk sekte ini. 

Ia hadir dalam kebaktian empat kali walaupun dalam kondisi tidak sehat.

Sekali kebaktian, ada 1.000 orang yang hadir. Selama kebaktian para penganutnya duduk bersimpuh, berbagi makanan; dan yang sakit tidak menggunakan masker. 

Di dalam sekte Shincheonji, sakit bukan menjadi alasan untuk tidak pergi beribadah dan merekrut orang untuk masuk ke dalam sekte ini – demikian ajaran dari pendiri sekte Shincheonji, Lee Man-hee.

Sebenarnya, Pasien #31 sudah dalam kondisi sakit di awal Februari namun menolak dites Covid-19-19. Merasa tidak memiliki riwayat bepergian ke Wuhan ataupun China, ia bersikeras tidak mau dites Covid-19. Bahkan sejam sebelum akhirnya berhasil diambil spesimennya, ia masih terus beradu argumen dengan otoritas kesehatan.

Segera sesudah Pasien #31 ini terkonfirmasi positif, otoritas Korsel langsung melakukan tes terhadap anggota-anggota gereja Shincheonji, dan langsung menemukan banyak kasus positif.

Mereka pun menyadari bahwa sebenarnya penyebaran ini sudah berlangsung berminggu-minggu, sehingga otoritas Korsel kemudian langsung memperluas kriteria testing dan melakukan testing secara agresif, bahkan membuka klinik drive-thru di mana seseorang bisa diambil spesimennya lalu langsung pergi lagi, dan hasilnya bisa didapatkan dalam waktu satu hari. Per 9 Maret, Korsel sudah melakukan lebih dari 200 ribu tes!

Hasilnya: Per 9 Maret, 75% dari jumlah kasus Covid-19 di Korsel berada di kota Daegu (5.663 dari 7.513 kasus) dan 15 persen di provinsi Gyeongsangbuk (1.117 kasus), baik yang terhubung langsung maupun tidak langsung dengan para pengikut sekte Shincheonji ini.

Di sisi lain, kenyataan bahwa 90 persen kasus di Korsel berada di Daegu dan Gyeongsangbuk menunjukkan bagaimana pemerintah Korsel berhasil mengendalikan wabah ini untuk tidak menyebar ke wilayah-wilayah lain di Korsel.

Singapura: Pasien #94

Pasien #94 sudah menunjukkan gejala sejak 11 Februari, namun masih saja datang ke acara di SAFRA Jurong tanggal 15 Februari. Akhirnya ia menularkan secara langsung ke beberapa orang di acara tersebut dan dari sana sudah terjadi penularan sekunder ke orang-orang lain. Total sudah ada 36 orang di kluster ini per 10 Maret.

Mayoritas kasus positif usianya di atas 60 tahun pula, yang berisiko mengalami gejala lebih parah akibat penyakit ini. Kluster ini tidak akan terjadi jika pasien #94 istirahat di rumah saja pada tanggal 15 Februari.

Italia: Pasien #1 (pertama) di wilayah Lombardia

Pasien pertama di wilayah  Lombardia ini bertemu dengan temannya yang baru pulang dari Tiongkok pada tanggal 21 Januari. Pada tanggal 14 Februari, pasien ini mulai sakit dan pergi ke dokter umum. 

Pada tanggal 16 Februari, kondisinya memburuk dan ia pergi ke rumah sakit (RS). Namun tidak ada perlakuan khusus bagi pasien ini, ia dirawat layaknya pasien biasa.

Baru beberapa hari kemudian ia terkonfirmasi positif Covid-19. Namun sebenarnya saat itu sudah terlambat. Karena pasien ini tidak diisolasi sejak awal, pasien-pasien dan staf di RS tempat ia dirawat juga terinfeksi.

Pasien ini juga dilaporkan memiliki kehidupan sosial yang aktif dan berinteraksi dengan banyak orang sebelum dirawat di RS. Akhirnya, puluhan orang sakit karena kontak dengannya, yang kemudian menularkan ke orang-orang lainnya selama berminggu-minggu.

Sampai sekarang, wabah di Italia masih belum terkendali, dan sudah menyebar ke seluruh Eropa.

Kasus superspreader di Italia terjadi karena kegagalan sistem kesehatan dalam melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap kemungkinan masuknya Covid-19 dan ketidaktahuan pasien #1 di Lombardia bahwa kontak dengan orang yang pernah melakukan perjalanan dari Tiongkok merupakan faktor risiko seseorang untuk terkena Covid-19.

Malaysia: Pasien #26

Pasien ini memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok di pertengahan bulan Januari, namun baru melaporkan kalau ia memiliki gejala pada akhir bulan Februari. Segera setelah ia dinyatakan positif Covid-19, otoritas Malaysia menelusuri kontak eratnya dan menemukan banyak kasus lain.

Hasilnya, per 8 Maret ia terkait dengan 70 kasus lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kluster ini sendiri mencakup lebih dari 70 persen kasus di Malaysia (71/99, per 8 Maret).

Demikian ditulis oleh Septian berdasar sumber dari Kementerian Kesihatan Malaysia (@KKMPutrajaya) per 6 Maret 2020.

Ratusan juta orang Tiongkok menuju ke kota asal mereka untuk Tahun Baru Imlek, tetapi banyak pelancong tampaknya tidak terpengaruh oleh virus misterius itu | Foto: AFP / Hector Retamal

Apa yang dapat kita pelajari dari contoh-contoh kasus superspreader ini?

“Jika kamu menunjukkan gejala-gejala penyakit Covid-19 (demam min. 38.0 derajat, batuk kering, dan atau sesak napas) disertai riwayat perjalanan dan atau kontak dengan orang dari negara terjangkit, mohon jangan pergi ke acara dengan orang banyak. Ikutilah protokol di daerah  kamu masing-masing. Misalnya, jika kamu di Jakarta, hubungi hotline 112 jika kamu memiliki gejala-gejala tersebut. Namun jika harus pergi, pastikan kamu menggunakan masker bedah dengan baik dan benar, hindari menggunakan transportasi publik, hindari berjabat tangan dan biasakan cuci tangan sebelum memegang sesuatu,” tulis Septian.

“Ingatlah, satu orang saja dapat menularkan ke banyak orang. Karenanya penyakit Covid-19 tidak bisa diremehkan walaupun mayoritas pasiennya adalah flu ringan. Demikian pula jika kita sampai menunjukkan gejala dan memiliki faktor risiko perjalanan atau kontak dengan orang dari negara terjangkit, kita bisa menghentikan potensi penyebarannya pada orang lain dengan cepat minta dites dan diisolasi. Setiap diri kita berperan penting dalam pengendalian wabah ini. Each one of us matters,” tegas Septian di akhir penjelasannya.

Sumber Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12,8 Triliun, Google Donasi untuk Produksi APD & Masker bagi Tenaga Medis

Manfaat Bayam Merah bagi Kesehatan, Mulai dari Mempersehat Mata hingga Mengobati Anemia!