CakapCakap – Cakap People! Seorang lelaki berusia 50 tahun dari sebuah desa di Distrik Tripura, Sepahijala, India diduga melakukan bunuh diri setelah berdebat dengan putrinya saat dirinya membelikan handphone yang salah untuknya.
Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh Priyanka Deb Barman dari Hindustan Times, seperti dilansir World of Buzz, Kamis, 9 Juli 2020, putrinya, yang merupakan seorang siswa Kelas 10, menuntut ayahnya untuk membelikannya sebuah smartphone ketika ia membutuhkannya untuk bisa mengikuti kelas online-nya. Namun, ayah yang berprofesi sebagai petani itu hanya berhasil membeli telepon biasa yang tidak disukai putrinya.
Sang putri menghancurkan handphone tersebut dan kemudian terjadi pertengkaran antara dia dan ayahnya. Lelaki itu terakhir terlihat masuk ke kamarnya di mana ia ditemukan tewas pada hari berikutnya, yaitu pada Rabu, 1 Juli 2020.
Insiden itu telah dilaporkan ke polisi yang memulai penyelidikan untuk mengetahui tentang penyebab kematian tersebut. Setelah melakukan post mortem, kasus itu dinyatakan sebagai kematian yang tidak wajar.
“Kami telah menanyakan kepada beberapa penduduk setempat dan keluarganya tentang masalah ini. Selama investigasi kami, kami mengetahui bahwa ada pertengkaran di rumahnya tentang kegagalannya membeli smartphone untuk putrinya, ”kata seorang petugas yang bertanggung jawab dari kantor polisi Madhupur Tapas Das.
“Kami telah melakukan bedah mayat dan menyerahkan mayat itu kepada mereka. Kami mengambil kesimpulan kasus kematian yang tidak wajar. ”
Ini bukan pertama kalinya seseorang mengakhiri hidupnya karena kesulitan akan kelas online di tengah wabah pandemi ini. Karena banyak sekolah dan universitas dipaksa untuk mentransfer kelas mereka secara online, banyak siswa yang tinggal di daerah pedesaan telah berjuang untuk bisa mengikutinya.
Sebelumnya pada bulan Juni, seorang siswa di Kerala, India diduga melakukan bunuh diri setelah tidak dapat menghadiri kelas online karena dia tidak memiliki TV atau smartphone. Berasal dari keluarga miskin, dia khawatir studinya akan terpengaruh dan kemudian dia lari dari rumah.
Sementara itu, banyak siswa lain juga harus mengambil langkah-langkah ekstrem untuk bisa menghadiri kelas online atau mengikuti ujian mereka.
Seperti siswa di Sabahan, Malaysia, yang menghabiskan 24 jam di pohon hanya untuk mendapatkan koneksi internet yang baik untuk ujian daringnya, atau siswa lain di Sarawak, Malaysia, yang berkemah di perkebunan karet untuk bisa menghadiri kelas daringnya.
Untuk semua siswa di luar sana yang masih mampu dan mendapatkan kemudahan perangkat serta intenet namun menganggap kelas online adalah sebuah tugas, ingatlah bahwa ada banyak siswa lain yang bahkan tidak mampu untuk memiliki perangkat pintar atau koneksi internet.