in ,

Aktivis Lingkungan Kecam Hukuman “Adzan” Bagi Penembak Orangutan Hope

Hope menjalani perawatan hewan dan mulai pulih, meskipun masih ada 64 peluru “non-fatal” yang bersarang di tubuhnya.

CakapCakapCakap People! Aktivis lingkungan mengecam pihak berwenang Aceh karena menggunakan pengalihan di luar hukum dan mengeluarkan sanksi ringan kepada dua remaja putra karena dituduh menembak orangutan beberapa kali dengan senapan angin.

Kedua remaja penembak orangutan itu diminta untuk adzan selama sebulan sebagai pelayanan masyarakat.

Hope, orangutan betina berusia 30 tahun yang ditemukan pada bulan Maret dengan 74 luka tembak di udara, pulih di kandangnya di Pusat Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Hope ditemukan bersama bayinya yang berusia 1 tahun, yang kemudian meninggal karena kekurangan gizi. (SOCP (Program Konservasi Orangutan Sumatra) / Castri)

Remaja itu diketahui adalah siswa sekolah menengah Ade Irfanta Sitepu, 17 tahun, dan Salinsyah Solin, 16 tahun, warga Kecamatan Sultan Daulat di Subulussalam, Aceh, dituduh menembak seekor orangutan betina berusia 30 tahun bernama Hope. Mereka melakukan penembakan kepada Hope sebanyak 74 kali dengan senapan angin pada bulan Maret.

Hope menjalani perawatan hewan dan mulai pulih, meskipun masih ada 64 peluru “non-fatal” yang bersarang di tubuhnya.

Banyak aktivis lingkungan yang khawatir dengan pemerintah setempat yang memutuskan untuk menyelesaikan kasus penembakan orangutan itu di luar pengadilan melalui langkah-langkah intervensi.

Perwakilan dari Kepolisian Aceh, Badan Urusan Sosial Subulassalam, pusat pemasyarakatan Singkil dan pejabat terkait lainnya memutuskan pada sebuah pertemuan pada tanggal 29 Juni bahwa kedua remaja itu bersalah karena menembak Hope dan akan dikenakan sanksi dengan layanan masyarakat.

Sanksi layanan masyarakat itu termasuk melakukan adzan untuk sholat Maghrib dan Isya selama sebulan di sebuah masjid di desa Bunga Tanjung, Subulussalam, di bawah pengawasan petugas dari pusat komunitas lokal dan administrasi desa.

Keputusan resmi juga menyatakan bahwa kedua remaja penembak Hope itu juga diminta untuk membersihkan masjid, mengakui kesalahan mereka dan meminta maaf kepada pihak-pihak yang terkena dampak. Ia juga mengatakan bahwa keduanya harus mengulang layanan masyarakat selama sebulan jika mereka gagal menyelesaikannya.

Ilustrasi hutan. (Foto: Usnplash)

Kepala Yayasan Orangutan Lestari Sumatra (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo, telah meminta pihak berwenang untuk mencabut keputusan mereka, yang ia khawatirkan dapat menjadi preseden buruk bagi kejahatan terhadap satwa liar dan hutan lainnya.

Dia menambahkan bahwa keputusan itu dapat mendorong orang dewasa untuk menggunakan anak-anak sebagai pengganti untuk memburu orangutan, dengan asumsi bahwa anak-anak hanya akan menerima hukuman ringan.

“Kami mendesak kepala Kepolisian Nasional untuk menyerahkan kasus penembakan Hope kepada Kejaksaan Agung agar sistem peradilan anak dapat diterapkan,” kata Panut, menekankan bahwa pengadilan anak-anak harus bertanggung jawab untuk memutuskan apakah pengalihan dapat diterapkan ke kejahatan lingkungan.

Dia menambahkan bahwa polisi juga harus melarang penggunaan senapan angin untuk semua keperluan selain program olahraga dan penyelamatan hewan.

Dokter hewan Yenny Saraswati, yang merawat Hope di Pusat Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, juga menyatakan kekecewaannya atas keputusan tersebut.

Yenny mengatakan bahwa penembakan itu membuat Hope buta secara permanen dan akibatnya, dia tidak akan pernah bisa dilepaskan kembali ke habitat aslinya.

“Keputusan itu mengejutkan, tetapi saya akan menyerahkannya kepada pihak berwenang menangani kasus ini, karena saya ingin fokus pada kondisi Hope,” kata Yenny.

Dia mengatakan bahwa kondisi Hope telah mengalami peningkatan bertahap, meskipun hanya 10 peluru senapan udara sudah diangkat dari tubuhnya. Sebagian besar dari 64 peluru yang tersisa masih bersarang di jaringan otot yang halus. Mengangkat sisa peluru tersebut bisa berisiko infeksi dan lebih lanjut merusak kesehatan Hope yang sudah melemah.

Penduduk setempat menemukan Hope yang terluka parah bersama bayinya yang berusia 1 tahun di sebuah perkebunan kelapa sawit di desa Bunga Tanjung, dan membawanya ke pusat rehabilitasi orangutan. Hope bertahan setelah menjalani beberapa kali operasi, tetapi bayinya meninggal karena kekurangan gizi.

THE JAKARTA POST

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hebat, Siswa Indonesia Menangkan Empat Medali di Olimpiade Kimia di Paris

Kini, Ganja Resmi Digunakan untuk Perawatan Medis di Thailand