in ,

Studi: Jauhi Makanan Manis Jika Ingin Hindari Holiday Blues alias Depresi Pascaliburan

Para peneliti menemukan peradangan adalah efek fisiologis paling penting dari gula, makanan yang berkaitan dengan kesehatan mental dan gangguan depresi.

CakapCakapCakap People! Jika kamu rentan terhadap depresi setelah liburan, sebaiknya hindari makanan manis. Sebuah studi baru dari tim psikolog klinis University of Kansas menunjukkan bahwa makan gula tambahan dapat memicu depresi pascaliburan alias holiday blues.

Makanan manis dapat memicu proses metabolisme, peradangan, dan neurobiologis yang terkait dengan penyakit depresi. Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Medical Hypotheses, Kamis, 12 Desember 2019.

Khusus di negara 4 musim yang sedang mengalami musim dingin, berkurangnya cahaya matahari dan perubahan pola tidur, konsumsi gula yang tinggi dapat mempengaruhi kesehatan mental. Selagi di belahan dunia lain mengalami musim dingin, di Indonesia saat ini juga tengah berlangsung musim hujan.

“Bagi banyak orang, berkurangnya paparan sinar Matahari selama musim dingin akan membuang ritme sirkadian, mengganggu tidur yang sehat dan mendorong lima hingga 10 persen populasi ke dalam episode depresi klinis yang penuh,” kata Stephen Ilardi, profesor psikologi klinis University of Kansas, dilansir Science Daily, Minggu, 15 Desember 2019.

Ilustrasi makanan manis. [Foto: HelloSehat]

Ilardi, yang menulis penelitian bersama mahasiswa pascasarjana University of Kansas Daniel Reis (penulis utama), Michael Namekata, Erik Wing dan Carina Fowler (Duke University), mengatakan gejala-gejala depresi yang timbul pada musim dingin ini dapat mendorong orang untuk mengonsumsi lebih banyak permen.

“Salah satu karakteristik umum dari depresi yang terjadi di musim dingin adalah ketagihan gula. Jadi, kita memiliki hingga 30 persen dari populasi yang menderita setidaknya beberapa gejala depresi akibat musim dingin, menyebabkan mereka menginginkan karbohidrat – dan sekarang mereka terus-menerus dihadapkan dengan permen liburan,” katanya.

Ilardi mengatakan, menghindari tambahan gula makanan mungkin sangat menantang karena gula meningkatkan suasana hati menjadi baik, membuat beberapa orang yang menderita penyakit depresi mencari pemulihan emosional sementara.

“Ketika kita mengkonsumsi permen, mereka bertindak seperti obat,” kata peneliti University of Kansas, yang juga penulis “The Depression Cure” (First De Capo Press, 2009).

“Gula memiliki efek peningkatan suasana hati segera, tetapi dalam dosis tinggi juga dapat memiliki konsekuensi jangka panjang yang paradoks, merusak, membuat suasana hati menjadi lebih buruk, mengurangi kesejahteraan, meningkatkan peradangan dan menyebabkan penambahan berat badan,” ujarnya.

Para peneliti mencapai kesimpulan mereka dengan menganalisis berbagai penelitian tentang efek fisiologis dan psikologis dari mengonsumsi gula tambahan, termasuk Studi Observasi Inisiatif Kesehatan Wanita, Studi Diet dan Kesehatan NIH-AARP, studi lulusan universitas Spanyol, dan studi tentang Peminum soda Australia dan China.

Ilardi mengingatkan mungkin lebih tepat untuk melihat tambahan gula, pada kadar yang cukup tinggi, karena berbahaya secara fisik dan psikologis, seperti minum sedikit minuman keras.

“Kami memiliki bukti yang cukup bagus bahwa satu minuman beralkohol sehari aman, dan mungkin memiliki efek menguntungkan bagi sebagian orang,” katanya.

Alkohol pada dasarnya adalah kalori murni, energi murni, tidak bergizi, dan super toksik pada dosis tinggi. Gula sangat mirip. Kita belajar ketika mengalami depresi, orang yang mengoptimalkan dietnya harus menyediakan semua nutrisi yang dibutuhkan otak dan sebagian besar hindari racun-racun potensial ini,” ujar Ilardi.

Ilustrasi makanan manis. [Foto: Pixabay]

Para peneliti menemukan peradangan adalah efek fisiologis paling penting dari gula, makanan yang berkaitan dengan kesehatan mental dan gangguan depresi.

“Sejumlah besar orang dengan depresi memiliki tingkat peradangan sistemik yang tinggi. Ketika kita berpikir tentang penyakit radang, kita berpikir tentang hal-hal seperti diabetes dan rheumatoid arthritis – penyakit dengan tingkat peradangan sistemik yang tinggi,” ujar mereka.

Selain itu, hormon-hormon peradangan dapat secara langsung mendorong otak ke keadaan depresi yang parah. Jadi, otak yang meradang biasanya adalah otak yang tertekan. Tambahan gula memiliki efek proinflamasi pada tubuh dan otak.

Ilardi dan rekan-rekannya juga mengidentifikasi dampak gula pada microbiome sebagai kontributor potensial untuk depresi.

“Tubuh kita menampung lebih dari 10 triliun mikroba dan banyak dari mereka tahu cara meretas otak. Spesies mikroba simbiotik, mikroba yang bermanfaat, pada dasarnya meretas otak untuk meningkatkan kebahagiaan kita. Mereka ingin kita berkembang sehingga mereka dapat berkembang,” jelas Ilardi.

Namun, ada juga beberapa spesies mikroba yang dapat dianggap sebagai parasit. Banyak dari mikroba parasit yang tumbuh dengan baik pada gula tambahan, dan dapat menghasilkan bahan kimia yang mendorong otak dalam keadaan gelisah, stres, dan depresi.

Ilardi merekomendasikan diet minimal yang kaya makanan nabati dan asam lemak Omega-3 untuk manfaat psikologis yang optimal. Adapun gula, peneliti KU merekomendasikan hati-hati – tidak hanya selama liburan, tetapi sepanjang tahun.

“Tidak ada pendekatan satu ukuran untuk semua yang dapat memprediksi dengan tepat bagaimana tubuh seseorang akan bereaksi terhadap makanan apa pun dengan dosis tertentu,” kata Ilardi.

“Sebagai pedoman konservatif, berdasarkan pada pengetahuan kita saat ini, mungkin ada beberapa risiko yang terkait dengan asupan gula dosis tinggi – mungkin apa pun di atas pedoman Asosiasi Jantung Amerika, yang merupakan 25 gram gula tambahan per hari,” ujarnya.

SCIENCE DAILY | BISNIS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 Hal Cerdas yang Dilakukan Oleh Semua Chef Hebat di Dapur

Inilah Cara Orang yang Cerdas Secara Emosional Mengatasi Stres di Tempat Kerja