CakapCakap – Cakap People! Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Indonesia mampu menangani kebakaran hutan dengan cara lebih baik dibandingkan negara-negara lain yang juga mengalami peristiwa sama. Hal itu diungkapkan saat menyikapi laporan baru-baru ini dari sejumlah organisasi tentang kebakaran hutan Indonesia pada tahun 2019.
“Kita bersyukur bahwa pada tahun 2019 kita bisa menangani kebakaran hutan lebih baik daripada negara-negara lain yang juga memiliki masalah dengan kebakaran hutan dan lahan,” kata Mahfud MD setelah menghadiri pertemuan koordinasi antar-menteri di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Meskipun kita masih memiliki kebakaran di beberapa tempat berbeda pada 2019, Indonesia adalah yang paling aman,” tambahnya.
Dilansir dari The Jakarta Post, Minggu, 8 Desember 2019, masalah ini menjadi sorotan setelah sebuah laporan dari Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa menyampaikan temuannya bahwa kebakaran hutan di Indonesia tahun 2019 ini telah menyumbangkan lebih banyak emisi karbon daripada kebakaran hutan hebat yang terjadi di Amazon, Brasil.
Menurut CAMS, total perkiraan jumlah emisi karbon dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah 720 megaton, hampir dua kali lipat dari Brasil yang mengeluarkan 366 megaton emisi karbon antara 1 Januari dan 30 November 2019.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong sebelumnya membantah bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah satu-satunya penyebab masalah global. Ia mengarahkan jari pada kebakaran hutan di negara-negara lain, khususnya Brasil.
“Saya pikir kebakaran hutan tidak hanya dihadapi oleh Indonesia. Jika Anda melihat Brasil, berapa juta hektar yang dibakar di sana? ”Katanya, Rabu 4 Desember 2019 di Madrid, Spanyol.
Menurut data kementerian, total 942.485 hektar lahan terbakar antara 1 Januari dan 31 Oktober 2019 di Indonesia, sementara laporan terbaru yang dikeluarkan oleh kelompok penelitian lingkungan, Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), diperkirakan sebanyak 1,64 juta hektar terbakar selama periode tersebut di tujuh provinsi di Indonesia.
Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam memperkirakan cakupan luasan wilayah kebakaran bisa menjadi alasan di balik perbedaan antara data kementerian dan CIFOR.
Kementerian menganalisis data berdasarkan gambar hot spot dari satelit Landsat 8 OLI / TIRS, dikombinasikan dengan laporan dari lapangan untuk membuat data, sementara data CIFOR menggunakan Google Earth Engine dengan gambar lahan terbakar yang diambil oleh satelit Sentinel-2.
Ini tanggapan para ahli dan aktivis lingkungan hidup soal kebakaran hutan
Namun, para ahli menyarankan agar tidak ada yang saling menyalahkan. Ilmuwan CAMS, Mark Parrington mengatakan bahwa, meskipun angka karbon emisinya “setara”, perbandingan langsung antara Brasil dan Indonesia “tidak terlalu berarti” karena perbedaan vegetasi dan jenis bahan bakar yang terbakar di dua tempat.
“Kita tidak bisa membandingkan antara emisi karbon [di Indonesia dan Brasil] karena menghitung emisi karbon di lahan gambut menggunakan metode yang berbeda,” kata Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas kepada The Jakarta Post, Jumat, 6 Desember 2019.
Para ahli mengatakan bahwa membandingkan tingkat keparahan kebakaran hutan berdasarkan ukuran atau luasan kebakaran juga menyesatkan. Pasalnya, negara-negara tidak memiliki persentase cakupan hutan yang sama dibandingkan dengan keseluruhan lahan.
“Dari sudut pandang luas area, ukuran kebakaran hutan di Indonesia lebih kecil daripada di Brasil karena Indonesia memiliki cakupan hutan yang lebih kecil. Rasio ukurannya sekitar 1: 3 kalau saya tidak salah, ”kata Manajer Senior World Resource Institute (WRI) hutan dan iklim Indonesia Arief Wijaya.
Ia menambahkan bahwa pendekatan yang lebih objektif adalah membandingkan persentase hutan yang dilalap api.
Selain perbandingan, kedua pakar sepakat bahwa penegakan hukum yang lebih baik diperlukan untuk melindungi hutan hujan Indonesia yang menyusut.
Selain penegakkan hukum, para ahli juga mengatakan bahwa restorasi lahan gambut diperlukan untuk mencegah kebakaran hutan di masa depan.
“Karena kebakaran terjadi di lahan gambut, yang sengaja dibuat kering lalu dibakar, pemerintah harus memulihkan lahan gambut sehingga menjadi lembab kembali. Kawasan lahan gambut yang terkena dampak kebakaran harus dipulihkan dan yang masih dalam kondisi baik harus dilindungi, ”kata Arie.
Untuk mencegah kebakaran hutan pada tahun 2020, direktur pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Raffles Panjaitan, mengatakan bahwa pemerintah siap untuk meluncurkan inisiatif, termasuk memberikan insentif kepada desa-desa di daerah rawan kebakaran hutan yang tidak membakar lahan untuk pertanian atau perkebunan.
“Pemerintah akan memberikan insentif kepada desa-desa di daerah rawan kebakaran sehingga mereka dapat mendiversifikasi pendapatan mereka dan berhenti membakar lahan untuk menanam pohon kelapa sawit,” katanya.
Dia mengatakan insentif akan bervariasi dan termasuk peningkatan jumlah dana desa untuk desa yang berhenti membakar lahan.