CakapCakap – Cakap People! Bagaimana cara kamu membedakan mana informasi yang mengandung kebenaran dan hoaks (disinformasi)? Mungkin kamu masih ingat tentang “Momo Chalenge” yang sempat ramai diperbincangkan pada awal tahun ini.
“Momo Chalenge” saat itu diduga sebagai sebuah tantangan di media sosial yang mendorong anak-anak untuk melukai diri mereka sendiri dengan menampilkan patung yang tampak menyeramkan, tersebar di internet.
Singkatnya, platform video online YouTube mengatakan bahwa mereka tidak memiliki bukti video yang mempromosikan tantangan tersebut. “Momo Chalenge” hanyalah salah satu contoh berita palsu (hoaks) dan di era digital ini, hoaks tampaknya terus menjadi ancaman bagi masyarakat.
Dilansir dari The Jakarta Post, Selasa, 8 Oktober 2019, menurut survei yang dilakukan oleh portal berita TI Dailysocial.id pada tahun 2018, 53,25 persen responden mengatakan bahwa mereka sering menerima berita bohong (hoaks).
Survei ini melibatkan 2.032 pengguna smartphone dari seluruh Indonesia. Juga ditemukan bahwa di antara responden hanya 55,6 persen melangkah lebih jauh untuk memverifikasi informasi yang mereka terima. Sementara itu, 31 persen mengatakan mereka merasa sulit untuk mendeteksi hoaks.
Project Officer platform belajar mandiri Hoaxplay.com, Nisrina Nadhifah, mengatakan bahwa Indonesia perlu meningkatkan literasi digital negara untuk melawan hoaks yang beredar di internet.
Ia menambahkan bahwa itu tidak cukup untuk memahami dan mendeteksi hoaks untuk memerangi mereka. “Kita juga harus aktif menghentikan hoaks,” tambahnya.
Berangkat dari hal itu, Hoaxplay.com dirancang sebagai media untuk meningkatkan literasi digital di Indonesia dengan mempertajam keterampilan pengguna dalam membedakan berita palsu (hoaks) melalui lima langkah, yang terdiri dari pelatihan untuk berpikir kritis, tipologi informasi, mendeteksi hoaks, merespons berita palsu dan cara melawan disinformasi.
Diluncurkan pada hari Kamis, 3 Oktober 2019, platform ini menargetkan kaum muda berusia antara 15 dan 22 tahun.
Afra Suci, Project Officer lainnya dari platform itu mengatakan bahwa kelompok usia 15-22 tahun itu dipilih karena mereka adalah pengguna aktif internet dan belum dipengaruhi oleh persepsi lain, seperti pilihan politik dan agama.
“Persepsi dan perilaku mereka masih fleksibel. Kami juga melihat bahwa kelompok umur ini bisa menjadi pihak yang aktif dalam mengkritik informasi dan memerangi hoaks, ”tambah Afra.
Saat mengakses platform itu, pengguna diundang untuk bergabung dengan kuis untuk menemukan berita palsu (hoaks) atau nyata. Begitu mereka telah mendaftar di platform tersebut, mereka akan memiliki akses ke lima langkah dengan masing-masing berisi informasi menyeluruh tentang hoaks dan cara melawan haoks.
Saat mencoba platform tersebut, The Jakarta Post menemukan informasi itu mudah dimengerti karena menggunakan jenis bahasa yang biasa digunakan oleh generasi muda. Namun, materi tersebut agak bertele-tele dan mengharuskan pengguna menghabiskan waktu menyelesaikan seluruh lima langkah.
Menanggapi hal ini, Afra mengatakan bahwa tim sebenarnya telah mencoba untuk menyederhanakan dan mempersingkat konten. Namun, karena menyadari bahwa pengguna mungkin merasa segan untuk membaca semua informasi, mereka menyiapkan video dan kuis di setiap langkah.
“Jadi mereka akan kembali [dan membaca] konten setelah menonton video atau memainkan game,” kata Afra, menambahkan bahwa setiap video pendek dan komprehensif dalam menjelaskan masalah yang kompleks.
Setelah pengguna menyelesaikan lima langkah, mereka akan menerima sertifikat dari Hoaxplay.com.
Afra berharap di masa depan bahwa Hoaxplay.com akan dapat menjalankan program untuk mengakomodasi orang-orang muda kritis yang serius ingin mendidik kelompok lain.