CakapCakap – Cakap People! Singapura memiliki pesan untuk Elon Musk: Menggunakan transportasi massal adalah solusi perubahan iklim yang lebih baik daripada menggunakan salah satu mobil listrik produksi Tesla Inc.
Dilansir dari Bloomberg, Kamis, 22 Agustus 2019, Singapura yang mengatakan bahwa upaya mereka untuk mengatasi perubahan iklim adalah sama pentingnya dengan pertahanan militer, telah memprioritaskan penggunaan bus dan kereta yang lebih besar, demikian dikatakan Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, Masagos Zulkifli dalam sebuah wawancara, Rabu, 21 Agustus 2019.
https://www.instagram.com/p/B1b6TtkhgO-/?igshid=1vwncsi0575tn
Seperti diketahui sebelumnya, Elon Musk mengkritik Singapura lantaran lambat mengadopsi EV (Electric Vehicle) atau kendaraan berteknologi hybrid dan mengatakan pada Januari lalu lewat Twitter bahwa pemerintah Singapura menolaknya.
“Apa yang ingin Elon Musk hasilkan adalah gaya hidup,” kata Zulkifli pada hari Rabu ketika ditanya tentang komentar pengusaha tersebut. “Kami tidak tertarik dengan gaya hidup. Kami tertarik pada solusi yang tepat yang akan mengatasi masalah iklim,” demikian seperti dikutip dari Bloomberg.
Sayangnya, Tesla tidak memberikan tanggapan saat dimintai komentarnya.
Singapura, negara kepulauan dataran rendah itu menghadapi ancaman eksistensial dari dampak perubahan iklim. Dalam pidato nasional hari Minggu, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengatakan, bahwa dibutuhkan anggaran lebih dari 100 miliar dolar Singapura (72 miliar dolar AS) pada abad berikutnya untuk melindungi Singapura dari naiknya permukaan laut, suhu yang lebih panas dan curah hujan yang lebih deras.
Transportasi Massal; Bus, Kereta
Transportasi massal; kereta dan bus Singapura mencakup sebagian besar wilayah dengan luas 720 kilometer persegi pulau itu (280 mil persegi) dengan rute kereta bawah tanah terbaru yang menampilkan kereta tanpa pengemudi dan beberapa rute bus paling populer yang dilalui oleh angkutan bus bertingkat.
Negara dengan populasi penduduk sekitar 6 juta itu, bertujuan untuk meningkatkan opsi transportasi massal sehingga pada tahun 2040 setiap perjalanan di dalam negeri akan memakan waktu tempuh tidak lebih dari 45 menit.
Meskipun Singapura berfokus pada transportasi umum, negara ini masih memiliki posisi unik untuk transisi atau beralih ke plug-in, kata Zulkifli. Hal itu karena negara mengontrol lisensi kepemilikan mobil, yang diberikannya 10 tahun dan dapat digunakan sebagai instrumen perubahan, katanya dalam wawancara.
“Jika ada negara yang dapat mengkonversi dari mobil bensin ke 100% EV, itu akan dilakukan Singapura,” katanya. Tetapi, ia menambahkan, akan sulit untuk membangun stasiun pengisian daya (plug-in) yang memadai dengan 85% dari populasi masyarakat yang tinggal di perumahan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, yang didukung pemerintah.
Stasiun Pengisian Daya (Plug Ins)
“Hanya memilih tempat parkir saja sudah bermasalah,” kata Zulkifli. “Dan sekarang kamu ingin mengatakan siapa yang mendapatkan titik pengisian daya. Kami belum memiliki solusinya. ”
Singapura menyetujui titik pengisian daya pertama di sebuah stasiun pengisian bahan bakar eceran awal bulan ini, menurut Royal Dutch Shell Plc, yang berencana untuk membuka sembilan lagi pada bulan Oktober. Perusahaan tersebut menugaskan sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa sekitar 52% orang Singapura dihalangi untuk membeli mobil listrik karena tidak cukup tersedianya tempat untuk pengisian daya.
Dalam perkiraan Zulkifli, hidrogen adalah solusi jangka panjang yang lebih baik daripada kendaraan listrik untuk transportasi dekarbonisasi, sebagian karena jejak karbon dari penambangan logam yang diperlukan untuk menghasilkan aki mobil dan masalah seputar pembuangan akhirnya.