CakapCakap – Cakap People! Ada berapa banyak dari kita yang mudah sekali tersulut amarah, emosi, sedih, khawatir, bahkan stres, atau merasakan sakit secara fisik saat berinteraksi dengan dunia luar atau ketika terhubung dengan media sosial? Emosi negatif itu terakumulasi.
Membaca atau mendengar berita tentang perdebatan politik yang riuh, hoaks, ujaran kebencian, terorisme, kelaparan, konflik peperangan dan lainnya, juga bisa menjadi pemicu perasaan marah dan hal negatif lainnya.
Saat suasana hati kamu yang sedang bahagia kemudian berubah menjadi marah, sedih, stres, atau perasaan negatif lainnya, mungkin akan timbul pertanyaan; “apakah hanya saya yang mengalami, atau apakah orang-orang di luar sana juga merasakan kemarahan yang sama?” Yakinlah: Ini bukan hanya kamu saja yang mengalami. Hal itu juga dirasakan oleh masyarakat dunia.
Melansir Washington Post, Sabtu, 4 Mei 2019, hal itu terungkap dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Gallup secara global pada 2018 tentang “World Negative Experience Index”.
Survei itu menyebutkan sebanyak 22 persen responden di 142 negara mengatakan bahwa mereka merasa marah. Angka ini meningkat dua persen dibanding tahun 2017. Ini merupakan rekor tertinggi sejak survei pertama dilakukan pada tahun 2006.
Secara global, 39 persen responden dalam survei itu mengatakan mereka menghadapi “banyak kekhawatiran” — naik satu poin persentase — dan 31 persen bahkan mereka menyatakan “mengalami banyak rasa sakit fisik.”
Namun, tingkat stres, sedikit turun dari 37 persen pada 2017 menjadi 35 persen pada 2018. Itulah sebabnya dunia tetap berada pada tingkat rekor tertinggi di “World Negative Experience Index,” alih-alih menjadi lebih buruk.
Indeks ini didasarkan pada lima emosi negatif yang diukur: kemarahan, kekhawatiran, kesedihan, stres dan rasa sakit fisik. Republik Chad berada di puncak daftar, sementara Taiwan memiliki sentimen negatif paling sedikit.
Seperti yang hampir selalu terjadi dalam jajak pendapat global, survei ini memiliki beberapa keterbatasan, termasuk persepsi emosi yang berbeda yang mungkin disebabkan oleh perbedaan budaya. Khususnya di negara maju, responden dapat menilai situasi mereka buruk, namun kondisi mereka itu akan dianggap beruntung di tempat lain.
Estonia menempati posisi sebagai negera dengan pengalaman negatif terendah di dunia. Sedangkan sesama negara baltik; Afghanistan, Yaman, dan Lithuania menempati peringkat paling atas sebagai negara dengan pengalaman negatif. Lithuania adalah bagian dari Uni Eropa dan telah menjadi berita utama untuk “pemulihan luar biasa” dari krisis keuangan, yang bertentangan dengan perang dahsyat yang melanda Afghanistan dan Yaman. Angka-angka itu menunjukkan bahwa kemarahan, kesedihan, dan kekhawatiran didefinisikan sangat berbeda di seluruh dunia.
Mengapa Negara-Negara Lain Lebih Bahagia?
Ketika PBB memeriksa jajak pendapat Gallup untuk 2013, 2014 dan 2015 sekitar tiga tahun lalu, ditemukan bahwa — terlepas dari definisi tersebut — enam indikator utama menjelaskan mengapa beberapa negara lebih bahagia daripada yang lain. Produk domestik per kapita tentu saja berperan, tetapi kekayaan dalam beberapa kasus dikalahkan oleh faktor-faktor lain, seperti usia harapan hidup yang sehat, kebebasan dan kepercayaan dalam bisnis dan pemerintah. Hal-hal yang sulit diukur dan oleh karena itu sering diabaikan oleh para politisi juga memainkan peran: kedermawanan, misalnya, dan memiliki seseorang yang dapat diandalkan di saat krisis. Bahkan, aspek terakhir — dukungan sosial — adalah di antara tiga kriteria paling penting, selain pendapatan dan harapan hidup sehat.
Fakta bahwa kebahagiaan dan pengalaman positif tidak hanya terkait dengan keuangan, juga telah mendorong beberapa negara, termasuk Selandia Baru meluncurkan program untuk meningkatkan dukungan sosial dan kesejahteraan sebagai bagian dari anggaran pemerintah.
Inisiatif-inisiatif tersebut masih jauh dari harapan kebahagiaan yang tampaknya tanpa usaha dari bagian negara Amerika Latin, menurut jajak pendapat terbaru Gallup, di mana sumber daya keuangan mungkin langka — tetapi demikian juga sentimen negatif, rata-rata.
“Orang Amerika Latin mungkin tidak selalu menilai kehidupan mereka yang terbaik dan bahagia (seperti negara-negara Nordik), tetapi mereka tertawa, tersenyum dan mengalami kenikmatan seperti tidak ada orang lain di dunia,” tulis Jon Clifton, mitra pengelola global di Gallup. “Tentu saja, kamu tidak akan merasakan demikian saat membuka feed berita tentang “karavan migran,” “krisis keuangan” dan “darurat kesehatan” yang menghantui Brasil atau Peru. “
2 Comments
Leave a Reply2 Pings & Trackbacks
Pingback:Ramadhan 2019: Inilah 10 Negara di Dunia Dengan Waktu Puasa Terlama - CakapCakap
Pingback:Penelitian: Orang Naksir Pasangan Bukan Karena Penampilan Menarik, Tapi Kecerdasan - CakapCakap