CakapCakap – Cakap People! Flashback di tahun 1994, atau sekitar 25 tahun lalu, beberapa film yang tayang saat itu diantaranya adalah Maverick, Beverly Hills Cop III, dan Little Buddha. Perdebatan ketika itu muncul; mana yang paling keren diantara kedua film tersebut. Dan, rasanya tak lengkap ya kalau nonton tanpa mengunyah popcorn.
Tapi, satu hal yang pasti, siapapun yang menonton film-film itu 25 tahun lalu di Amerika Serikat, dipastikan tidak akan membeli popcorn untuk dikunyah saat menonton film-film itu. Kok bisa?
Popcorn, makanan ringan ini dihindari karena dipercaya sebagai makanan penyebab kanker.
Melansir Vice, Sabtu, 4 Mei 2019, Popcorn pernah menjadi makanan ringan yang fenomenal di Amerika Serikat. Namun, 25 tahun lalu, Center for Science in the Public Interest (CSPI) menyebut bahwa popcorn menjadi makanan penyebab kanker.
CSPI bahkan mempresentasikan hasil temuannya mengenai kandungan gizi popcorn tersebut dalam sidang dengar pendapat Kongres AS dan dipublikasikan dalam jurnal Nutrition Action Healthletter.
Agar bisa tahu kandungan gizi popcorn, CSPI membeli popcorn di 12 bioskop milik enam perusahaan bioskop di tiga kota di AS.
Sampel popcorn itu kemudian dikirim ke laboratorium dan kemudian dibandingkan kandungan lemaknya minyak canola, minyak kelapa serta lemak dalam jagung mentega yang dibuat dengan minyak kelapa.
Biang masalahnya menurut CSPI adalah minyak kelapa (meski sekarang minyak kelapa malah disanjung-sanjung sebagai superfood) yang memiliki kandungan lemak jenuh yang terlalu tinggi.
Hanya berselang beberapa hari saja dari pelaksanaan dengar pendapat dengan Kongres AS, Jayne Hurley, pakar gizi yang bekerja untuk CSPI, tanpa tedeng aling-aling mewanti-wanti penikmat film profesional dan kritikus film legendaris Roger Ebert bahwa sekantong besar popcorn punya kandungan lemak yang setara dengan “enam buah Big Mac.” Artinya, dengan makan sekantung popcorn, kita sudah melampui kebutuhan lemak jenuh selama tiga hari.
Tentu saja, temuan ini memicu kegemparan dan membuat banyak orang benci dan menghindari mengonsumsi popcorn yang enak ini.
Bahkan, surat kabar sekelas New York Times pun ketakutan dan menurunkan sebuah berita yang dimulai dengan sebuah lead berita yang membuat merinding saat itu: “Yang paling menakutkan saat nonton film di bioskop itu bukanlah Freddy Kruegger. Yang membuat merinding bukan juga Mickey Rourke yang memainkan peran-peran dramatis. Yang membuat takut justru popcorn.” Surat kabar lain, Los Angeles Time, menurunkan sebuah artikel bertajuk “Nightmare at the Multiplex,” tulisan sepanjang 555 kata yang membahas tentang bahaya kandungan minyak kelapa yang ada di dalam popcorn.
Popcorn Institute, organisasi dagang yang bertanggung jawab atas stok popcorn di AS, merespon laporan CSPI dengan enteng. “Kami pikir orang-orang lari keluar dari bioskop karena popcorn dijual di dalamnya,” ujar juru bicara Popcrorn Institute Dierdre T. Flynn kepada Times. “Jika kalian makan popcorn sesekali sebagai camilan, popcorn tak akan membunuh kalian kok.”
Namun, tetap saja, para penonton film terlanjur takut makan popcorn atas temuan CSPI. Tahun 1994 itu, orang-orang masih menghindari berbagai macam popcorn saat menonton film-film keren seperti Forrest Gump dan Pulp Fiction.
Alhasil, jumlah penjualan popcorn merosot tajam, yaitu sebanyak 50 persen dalam kurun waktu setahun. Tapi akhirnya penjualan kembali ke angka normal, karena penonton mulai lupa perbandingan popcorn dengan enam buah Big Mac.
“Daya kejut laporan CSPI hanya sebentar. Setelah satu tahun, jumlah penjualan popcorn sudah kembali seperti semula,” tulis Tulsa World pada 2001, dalam peringatan 30 tahun CSPI.
Kemenangan CSPI atas konsesi AMC hanya berlangsung singkat. Malah, beberapa pengamat menyalahkan tindakan CSPI tersebut. Organisasi ini memang kerap iseng mengobrak-abrik pilihan kuliner warga AS. Sebelum mereka mengkampanyekan betapa bahayanya popcorn, CSPI pernah berusaha menjauhkan warga AS yang sangat awas dengan kesehatan tubuh mereka dari restoran makanan Italia dan Meksiko.
Roger Ebert bahkan mencatat bila CSPI pernah menyebut Fettucine Alfredo sebagai “serangan jantung di atas piring.” Sampai saat ini CSPI belum juga insyaf dari kegemarannya memberi label miring pada pewarna makanan, gula hingga—lagi-lagi—popcorn.
Pada 2009 silam, CSPI kembali berulah dan berusaha kembali mendemonisasi kandungan lemak dalam popcorn. Bedanya, kali ini, pengunjung bioskop menganggap temuan CSPI sebagai angin lalu belaka.
Center for Consumer Freedom mencatat bahwa, berselang dua dekade sejak CSPI kali menyerang kandungan lemak popcorn, pandangan para ahli gizi terhadap lemak jenuh sudah jauh bergeser. Yang dianggap berbahaya saat ini bukan lagi lemak jenuh, melainkan lemak trans dan hidrogenasi parsial. Lagipula, siapa pun yang pernah membaca artikel kesehatan pun tahu bahwa minyak kelapa adalah minyak kesayangan semua orang.
“Sebagian besar penilitian tentang minyak kelapa dilakukan dengan minyak kelapa yang dihidrogenasi secara parsial. Ini dilakukan karena para peneliti perlu meningkatkan kadar kolesterol dalam kelinci percobaan agar mereka bisa mengumpulkan beberapa data tertentu,” terang Dr. Thomas Brenna pada New York Times.
“Virgin coconut oil, yang belum kena proses kimia apapun, harus dipandang secara berbeda dari sudut pandang risiko kesehatan. Lagipula, minyak kelapa mungkin tek jelek-jelek amat bagi tubuh kita.”
Ya. Bisa jadi popcorn memang bisa “membunuh”—tepatnya karena rasanya yang maknyus abis itu.
One Comment
Leave a ReplyOne Ping
Pingback:Mengenal Makanan Italia yang Nyaris Sempurna: Keju Parmigiano-Reggiano - CakapCakap