Berkunjung ke Kota Makassar memang selalu indentik dengan wisata kuliner dan juga keindahan baharinya yang luar biasa. Nah, salah satunya adalah Pulau Cangke.Pulau ini memiliki keindahan wisata bahari dan juga menyimpan kisah cinta kesetiaan yang luar biasa.
Pulau Cangke, Pulau Penuh Dengan Rasa Cinta
Pulau Cangke adalah salah satu pulau di gugusan kepulauan Spermonde. Secara geografis pulau ini masuk dalam Kabupaten Pangkajenne Kepulauan. Pulau ini bisa kamu tempuh selama 3 jam dari pelabuhan Paotere, Makassar dengan perahu. Nah, sayangnya, belum ada perahu reguler ke pulau ini, jadi kamu haru menyewa perahu sendiri. Dalam perjalanannya, kamu akan melewati beberapa pulau dan bisa berhenti di Pulau Karanrang. Di sini kamu disarankan untuk membeli air mineral galon untuk keperluan selama di Pulau Cangke.
Pulau Cangke ini sangatlah rimbun dikarenakan pepohonan yang melindungi pulau ini menjulang tinggi. Saat perahu mendekat, warna air laut semakin jernih dan karang serta ikan warna-warni yang terlihat sangat cantik dan jelas.
Sobay Millenial CakapCakap, jangan berharap bahwa pulau ini sudah dilengkapi dengan penginapan, warung, atau penyewaan alat menyelam. Di sini, kamu hanya bisa menemukan 2 rumah yang dihuni oleh Daeng Abu dan Maidah, sepasang suami istri tinggal lebih dari 30 tahun. Kalau main ke sini, kamu juga harus membawa sendiri tenda dan perlengkapannya sendiri. Seru banget kan bisa camping seperti layaknya pulau pribadi ini.
Cangke terkenal dengan terumbu karangnya yang indah, yang dapat dinikmati cukup dengan snorkeling. Pastikan kamu enggak menginjak atau merusak karang, ya. Pulau Cangke juga menawarkan keindahan sunrise dan sunset karena keduanya bisa kita saksikan dari kedua sisi pulau.
Kisah Cinta dan Kesetiaan Daeng Abu dan Maidah
Lalu, kenapa yang pulau ini disebut-sebut dengan nama Pulau Cinta? Padahal bentuknya nggak kayak hati. Nah, simak nih ceritanya.
Kisah cinta mereka bermula ketika pada tahun 1980-an Daeng Abu mengasingkan diri akibat penyakit Kusta. Ketika itu masyarakat Desa Bungoro, ampung halaman Daeng Abu, tidak menerima keberadaannya karena dianggap mengidap penyakit kutukan yang menular ke masyarakat. Maka, berangkatlah ia ke Pulau Cangke bersama istrinya, ibu Maidah.
Pulau Cangke menjadi tujuannya berlabuh dan memulai hidup baru dengan segala kekurangannya. Saat itu Cangke hanyalah sebuah pulau yang kecil, tandus, dan tidak berpenghuni. Mereka merawat Pulau Cangke setulus hati, menanam pohon satu demi satu hingga bisa serimbun sekarang. Dedikasi Daeng Abu terhadap Pulau Cangke sebanding dengan kesetiaan Maidah, istri yang menemaninya hingga kini. Sungguh so sweet bukan?
This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!