CakapCakap – Cakap People! Seperti apa sebenarnya gaya hidup freegan? Setiap orang memiliki caranya tersendiri untuk meraih kebebasan finansial. Ada dari mereka yang rela mengerjakan banyak pekerjaan demi pemasukan yang melimpah dan ada juga yang menerapkan berbagai cara hemat agar pengeluaran tidak membengkak.
Seperti pria bernama Daniel Tay. Ia memilih menerapkan gaya hidup freegan, yang membuatnya tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk hidup.
Padahal, ia menetap di Singapura yang dikenal sebagai kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Tapi, ia sukses hanya menghabiskan Rp100 ribuan untuk setahun. Bagaimana bisa dia melakukannya?
Mengenal Gaya Hidup Freegan
Melansir Investopedia, istilah freeganisme pertama kali muncul pada pertengahan tahun 1990-an, yang menggabungkan perilaku vegan (mereka yang menolak membeli produk hewani) dengan filosofi menjalani gaya hidup yang bebas dari kapitalisme modern.
Mereka yang mempraktikan freeganisme dikenal sebagai freegans. Mereka yang menerapkan gaya hidup ini bertujuan untuk hidup di luar sistem ekonomi kapitalistik, berusaha untuk tidak membeli atau menjual apapun.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, para freegan memilih untuk menggunakan strategi hidup alternatif, sering kali mencari makanan daripada membeli hingga menjadi sukarelawan daripada bekerja.
Kisah Daniel Tay sebagai Freegans di Singapura
Daniel Tay bukan lagi nama yang asing. Ia sudah pernah tampil di The Straits Times, AsiaOne, hingga Nas Daily.
Melansir The UrbanWire, warga Singapura mengenalnya sebagai seorang freegan. Ia juga dikenal karena berhasil pensiun di Singapura yang serba mahal, pada usia 40 tahun.
“Banyak orang berkata, jika anda pensiun dini, itu berarti anda sangat kaya. Namun, kenyataannya saya membelanjakan uang sangat sedikit. Itulah rahasia saya,” ujar Tay.
Tay yang juga menjadi pendiri SG Food Rescue mengatakan telah menerapkan gaya hidup ini secara ketat, dua tahun sebelum pensiun.
Ia memanfaatkan barang-barang yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh masyarakat, meskipun barang tersebut sudah ada di tempat sampah. Lalu, ia juga mengumpulkan makanan yang dibuang karena cacat atau hampir mencapai kedaluwarsa.
Inpirasinya sebagai freegan adalah dorongan dari seorang mantan mentor yang diperkenalkan di sebuah acara yang mendesaknya untuk turut mencoba gaya hidup ini secara berkala.
Awalnya, ia menjadi freegan dengan mengobrak-abrik tempat sampah, ia sempat khawatir kalau orang lewat akan menganggapnya sebagai tunawisma, pengangguran, atau menderita penyakit mental. Namun, ia segera menyadari itu hanyalah stereotipnya sendiri saja.
“Stereotip ini adalah stereotip saya sendiri. Apa yang orang lain pikirkan tentang saya mungkin sebenarnya sangat berbeda,” katanya.
Dari sinilah ia memulai gaya hidup sebagai freegan.
Hanya Habiskan Rp100 Ribuan dalam Setahun!
Pada 2017 lalu, pengeluaran makan Daniel Tay hanya habis USD 8 atau sekitar Rp130 ribuan (hitungan saat ini), yang lebih murah dari harga burger resto fastfood. Lalu, pada 2018 pengeluarannya turun menjadi USD 5,50.
Saat ditanya berapa pengeluarannya yang habis di tahun 2020, ia menjawab sudah tidak mencatatnya lagi.
“Saya sudah berhenti mencatat karena saya sebenarnya tidak menghabiskan banyak uang untuk makanan,” jawabnya.
Bahkan, saat pandemi Covid-19 yang membuat banyak orang di dunia takut dengan penyebaran virusnya, tidak membuat Daniel Tay mengubah gaya hidupnya.
Ia mengatakan awalnya memang sempat ragu untuk mengobrak-abrik tempat sampah. Namun, Tay dan teman Freegan lainnya tetap melanjutkan karena mereka menyadari kebiasaan yang sudah dilakukan sebelum Covid, seperti membersihkan tangan. Yang mana, menurut mereka seharusnya hal ini bisa melindungi dari infeksi sampai batas tertentu.
Tay juga mengatakan saat pandemi lalu, lebih banyak pelaku usaha yang menyumbang daripada membuangnya.
“Pandemi sebenarnya telah mempermudah pengumpulan makanan (karena) semakin banyak pelaku usaha yang memahami bahwa masyarakat sedang mengalami masa sulit. Jadi, mereka lebih rela menyumbangkan barang-barangnya yang tidak laku dibandingkan membuangnya,” ujar Tay.
Menurut Tay, hal menguntungkan dari gaya hidup ini adalah ia tidak perlu mengeluarkan sepeser pun untuk makan. Ia dan teman-temannya lebih suka menyiapkan makanan dari rumah dan piknik di luar.
Namun, jika harus bertemu di restoran, ia akan membawa makanannya sendiri. Kalau resto tersebut tidak mengizinkan makanan dari luar, maka ia hanya akan minum air. Itulah cara Daniel Tay menikmati gaya hidup hemat ini.
Melansir WAYD, walau sukses menjalani gaya hidup ini, tapi Tay menyarankan untuk yang ingin mencoba agar selalu hati-hati dalam penerapannya.
“Mencobanya selama dua minggu, lalu tiga bulan dan sekarang, setelah hampir tiga tahun, saya bisa berkata, ‘Ya, saya bisa hidup seperti ini!’.”
Kebiasaan lain yang bisa diterapkan, ia merekomendasikan untuk menjadi sukarelawan di kelompok penyelamat makanan atau kelompok freegan.