CakapCakap – Cakap People! Perjalanan haji ke tanah suci, Mekah bagi masyarakat Muslim di Indonesia bisa dilakukan dengan mudah. Terutama setelah adanya moda udara alias menggunakan pesawat terbang sejak 1950-an. Menaiki burung besi, calon haji hanya butuh beberapa jam, 10 jam antara Jakarta dengan Jeddah, untuk sampai di Arab Saudi.
Berbeda dengan masyarakat Islam Indonesia era dulu. Mereka butuh waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan di perjalanan untuk sampai ke Mekah. Hal ini lantaran kala itu mereka masih menggunakan moda laut alias menggunakan kapal. Ada pula kisah calon haji yang menumpang kapal sampai India. Lalu melanjutkan perjalanan darat hingga ke Arab Saudi.
Dinukil dari publikasi Tradisi Haji dalam Masyarakat Beberapa Daerah di Indonesia, peristiwa haji dalam lintasan sejarah umat Islam di Indonesia tentu tidak terlepas dari sejarah kedatangan Islam ke bumi Nusantara setidaknya sejak abad ke-13. Sejarah mencatat sejak abad ke-15 jemaah haji dari wilayah Nusantara sudah berani berlayar dan menjelajah berbagai daerah guna menunaikan rukun Islam kelima itu.
Bahkan menurut Schrieke seperti dikutip Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan bahwa, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Selain itu, Schrieke juga menyatakan, pada 1440 Abdul al-Razzaq menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz. Serta, orang-orang Jawa di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, di pantai Malabar pada 1346 menurut laporan Ibnu Batutah.
Di masa lampau, naik haji memiliki sistem, mekanisme dan route perjalanan tersendiri. Sebelum ditemukannya kapal uap pada paruh kedua abad ke-19, perjalanan haji memerlukan waktu yang lama. Sebab, tidak semua jemaah haji bisa mendapatkan route perjalanan yang ideal. Pada abad ke-16, jemaah haji mulai menumpang kapal dagang VOC. Kemudian pada abad ke-18 dan ke-19, ketika jalur perdagangan laut semakin berkembang, sebagian jamaah haji bisa menumpang kapal dagang negara barat.
Di dalam cerita novel Hamka, “Di Bawah Lindungan Ka’bah,” sang tokoh harus naik kapal laut ke India, sebelum akhirnya menempuh jalan darat hingga ke Hijaz. Karenanya, kala itu haji merupakan sebuah perjalanan yang ditempuh sangat panjang dan berliku. Gelar haji dianggap sangat layak disematkan kepada mereka yang telah berani mempertaruhkan nyawa dan harta bendanya untuk menunaikan kewajiban agama yang suci.
Achmad Taqiyudin dalam Antara Mekah dan Madinah, mengatakan menurut sumber-sumber tradisional Jawa menyebutkan, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah berkunjung ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Syarif Hidayatullah berangkat ke Mekah pada 1521 setelah Pasai, kota kelahirannya ditaklukan oleh Portugis. Catatan-catatan di atas membuktikan bahwa jamaah haji dari Indonesia dipelopori pedagang, pelayar dan utusan sultan (diplomat).
Sedangkan menurut Martin van Bruinessen, dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia, untuk pertama kalinya, pada 1674 seorang pangeran Jawa juga naik haji menggunakan kapal VOC. Ia adalah Abdul Qahhar yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Ia merupakan putra dari Sultan Ageng Tirtayasa Banten.