CakapCakap – Cakap People! Biasanya ada sederet pertanyaan Lebaran yang kita jumpai saat berkumpul bersama keluarga merayakan Hari Raya Idulfitri. Berkumpul bersama keluarga masih menjadi salah satu momen wajib saat Lebaran. Biasanya, momen kumpul keluarga ini akan dihabiskan dengan mengobrol sepanjang hari hingga menikmati hidangan-hidangan khas Idulfitri. Kegiatan ini menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu karena hanya terjadi saat Lebaran tiba.
Nah, waktu lagi momen berkumpul inilah sederet pertanyaan pamungkas saat Lebaran pasti akan keluar. Misalnya bagi kamu yang masih kuliah pasti akan ada pertanyaan, “kapan lulus?”.
Bagi yang sudah berusia 20 ke atas tentu akan diberondong dengan pertanyaan, “kapan menikah?”, “kerja di mana?”. Bahkan yang sudah menikah pun tidak akan lepas dari pertanyaan, “kapan punya anak?”, “kapan punya anak kedua?” dan masih banyak lagi.
Bukan hanya pertanyaan seputar status dan karier, kamu mungkin juga harus bersiap menerima beberapa celetukan yang mengarah pada kondisi fisik. Misalnya, “kamu kok gendut ya sekarang?”, “eh, kamu kok makin kurus?”, “ih, kamu kok kurusan sekarang, jadi kelihatan nggak seger deh” dan sederet celetukan tentang fisik lainnya.
Bagi beberapa orang, pernyataan atau celetukan tersebut mungkin masih bisa ditanggapi dengan santai. Namun, beberapa orang mungkin justru merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. Bahkan, ada juga yang sampai bikin insecure. Kalau bahasa kerennya, kamu mungkin akan disebut sebagai pribadi yang “gampang baper” alias terlalu sensitif.
Apakah kamu termasuk pribadi yang demikian?
Jika ya, jangan khawatir! Menjadi terlalu sensitif bukan dosa besar, kok. Pasalnya, sikap yang terlalu sensitif ini ternyata dipengaruhi oleh banyak hal. Apa saja? Simak pembahasan menurut ahli berikut ini!
Pengaruh Genetik
Penyebab pertama kamu jadi lebih sensitif, terutama saat menjawab pertanyaan orang lain adalah karena adanya pengaruh genetik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Conversation, diketahui bahwa genetik setidaknya menyumbang hingga 47%. Ini artinya, faktor genetik hampir setengah alasan kamu terlalu sensitif.
“Kami menemukan bahwa 47% perbedaan sensitivitas masyarakat memang disebabkan oleh faktor genetik. Dengan kata lain, genetika menyumbang hampir setengah dari alasan Anda menjadi orang yang lebih sensitif,” tulis The Conversation dalam penelitiannya.
Sementara itu, pernyataan lain tentang genetika sebagai salah satu penyebab seseorang menjadi terlalu sensitif juga dilontarkan oleh psikoterapis Amy Morin, melansir dari Well and Good.
“Genetika berperan dalam alasan mengapa beberapa orang lebih sensitif dibandingkan yang lain, namun lingkungan memainkan peran yang lebih besar,” ungkap psikoterapis Amy Morin.
Adanya Trauma Masa Kecil
Jika 47% penyebab seseorang terlalu sensitif adalah faktor genetik, maka 53% lainnya disebabkan karena lingkungan. Setidaknya, itulah yang tertulis dalam penelitian yang dilakukan oleh The Conversation.
“Namun 53% (penyebab seseorang terlalu sensitif) sisanya tingkat kepekaan seseorang dibentuk oleh pengalaman hidup (lingkungan),” itulah yang tertulis dalam penelitian.
Hasil dari penelitian tersebut juga selaras dengan pernyataan psikoterapis Amy Morin. Ia menyatakan bahwa salah satu dampak terbesar seseorang memiliki perasaan yang sangat sensitif adalah karena pengalaman masa kecil.
“Pengalaman masa kecil mungkin memiliki dampak terbesar pada seberapa sensitif seseorang,” terang Amy Morin seperti dikutip dari Well and Good.
Amy mengungkap bahwa pengalaman masa kecil memiliki dampak terbesar karena hal ini berkenaan dengan cara asuh, pengalaman di sekolah hingga bagaimana cara orang lain memperlakukannya.
Contoh sederhananya, misalnya jika seseorang dibesarkan di lingkungan keluarga yang penuh perhatian dan kasih sayang, maka kemungkinan besar ia akan tumbuh menjadi orang yang penuh perhatian dan kasih sayang.
Di sisi lain, jika seseorang tumbuh di kehidupan keluarga yang memiliki masalah utama dalam kepercayaan, maka ia mungkin akan tumbuh menjadi orang yang sangat sensitif terhadap berbagai permasalahan di kehidupan.
It’s Okay, Menjadi Sensitif Tak Selalu Buruk
Jika mengakui terang-terangan soal ketidaknyamanan menjawab pertanyaan sensitif saat lebaran, mungkin akan ada yang menganggap kamu terlalu baper. Tapi percayalah, itu bukanlah hal buruk. Bahkan, para ahli pun mengakuinya sebagai kekuatan tersembunyi.
“Ada banyak kualitas positif pada orang yang sangat sensitif, yang umumnya sangat penyayang, peduli, mengasuh, dan berempati,” jelas Preston Ni, Seorang professor Komunikasi.
Pada akhirnya, menjadi terlalu sensitif bukanlah sebuah dosa besar. Kamu berhak menyatakan keberatan apabila memang ada pertanyaan lebaran yang mengganggumu. Tidak ada salahnya untuk jujur kepada penanya. Namun, tetap perhatikan untuk menyampaikannya dalam kalimat yang sopan.