CakapCakap – Cakap People! Masyarakat Yogyakarta menganggap malam 1 Suro atau malam 1 Muharram sebagai malam yang sakral sehingga disambut dengan tradisi dan ritual.
Tokoh Kejawen Gunungkidul yang aktif dalam berbagai kegiatan pelestarian alam, Sigit Nurwanto mengungkapkan, malam 1 Suro adalah malam tahun barunya masyarakat Jawa. Pada malam itu masyarakat Jawa akan melakukan introspeksi diri, apa yang telah dilakukan pada tahun yang telah dilalui dan menyambut tahun yang baru.
“Harapannya ketika dia memiliki kesalahan di tahun itu tidak akan mengulanginya di tahun yang akan datang,” katanya, Kamis, 28 Juli 2022.
Pria yang berprofesi sebagai dalang ini mengatakan, karena kesakralannya inilah banyak orang melakukan laku atau tradisi prihatin. Tradisi ini dilakukan dengan topo broto atau ngesu budi dalam rangka introspeksi.
Menurutnya, ada tiga jenis prihatin yaitu Ngelih (lapar), Mlaku (berjalan) dan Melek (tidak tidur). Ketiga jenis prihatin ini biasanya dilakukan masyarakat Jawa ketika malam 1 Suro. Ngelih dilakukan dengan cara berpuasa atau cegah dahar (menahan untuk makan). Biasanya masyarakat Jawa melakukan puasa selama beberapa hari yaitu sejak malam satu suro hingga beberapa hari kemudian.
Sedangkan Mlaku atau berjalan dilakukan pada malam 1 Suro. Di Kota Yogyakarta biasanya dilakukan secara berjamaah, yaitu Mubeng Beteng (berjalan mengelilingi Keraton).
“Di mana biasanya topo (bertapa) mlaku (berjalan) mubeng (mengitari) beteng,” katanya.
Sedangkan Melek yaitu mencegah tidur sesuai dengan kemampuannya. Terkadang laku prihatin ini dibingkai senang-senang, dengan menggelar Sholawatan Jowo, Kenduri dan juga wayangan. Tradisi wayangan diambil filosofinya adalah melek (tidak tidur), kalau mubeng beteng yang diambil adalah berjalan.