CakapCakap – Cakap People! Republik Suriname meraih kemerdekaan dari kekuasaan Belanda pada 25 November 1975.
Meski termasuk negara kecil di kawasan benua Amerika Selatan, penduduk di negara ini sangat beragam. Menariknya, banyak penduduk di sana berasal dari keturunan etnis Jawa atau kerap disebut Javanese Surinamese.
Muasal Orang Jawa di Suriname
Dilansir dari Inside Indonesia, mulanya menteri kolonial Belanda keberatan dengan rencana emigrasi dari Jawa ke Suriname. Hal ini lantaran orang-orang Jawa dianggap memiliki fisik yang kecil dan jarak yang teramat jauh.
Namun, setelah lobi yang sengit dari pengusaha perkebunan dan pejabat Suriname, Belanda akhirnya mengizinkan percobaan pertama dengan 100 imigran kontrak dari Jawa pada tahun 1890.
Secara total, hampir 33.000 orang Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya dan Semarang adalah daerah perekrutan utama. Hanya 20 hingga 25 persen migran Jawa yang kembali ke negara asalnya sebelum Perang Dunia II. Sebagian besar imigran menetap secara permanen di sana.
Secara demografis, mengutip Britannica, keturunan orang Jawa saat ini berjumlah hampir sepertujuh atau terbesar ketiga dari populasi penduduk Suriname.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2004, total ada 71.900 orang keturunan Jawa yang menetap. Keberadaan mereka nyatanya juga memberikan dampak bagi negara Republik Suriname, baik secara politik, ekonomi, dan budaya.
Secara politis, pentingnya kelompok penduduk Jawa tidak dapat disangkal. Orang Jawa sering memegang keseimbangan antara kelompok Afro-Surinamese dan Hindustan. Sementara di sisi ekonomi, banyak orang Jawa mendapatkan pekerjaan di industri bauksit dan sektor pertanian setelah sektor perkebunan mati pada paruh pertama abad ke-20.
Hanya dalam beberapa dekade abad terakhir, kehadiran orang Jawa dapat mendongkrak perkembangan bisnis, profesi, dan ekonomi di negara tersebut.
Terakhir yang paling kentara adalah warna budaya Jawa di Suriname yang masih kental. Tradisi budaya Jawa terbukti kuat, meski perubahan dan adaptasi di negara itu. Sebagai contoh, penggunaan Bahasa Jawa yang masih lestari untuk kehidupan sehari-hari, meski sebagian kosa kata dilebur dengan versi Kreol.