CakapCakap – Cakap People! Sebuah komite Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan bahwa, Prancis mendiskriminasi seorang wanita Muslim yang dilarang menghadiri pelatihan kejuruan di sekolah umum saat mengenakan jilbab. Demikian menurut dokumen PBB.
Reuters melaporkan, Kamis, 4 Juli 2022, pada tahun 2010, Naima Mezhoud, akan menjalani pelatihan sebagai asisten manajemen di sebuah kursus yang diadakan di sekolah menengah negeri, di mana remaja dilarang oleh hukum untuk mengenakan jilbab. Ketika dia tiba, kepala sekolah di pinggiran utara Paris itu melarangnya masuk.
Enam tahun sebelumnya, pada 2004, Prancis telah melarang pemakaian jilbab dan simbol agama lainnya oleh para siswa di sekolah negeri. Mezhoud berpendapat, sebagai mahasiswa pendidikan tinggi, dia seharusnya tidak menjadi sasaran hukum.
“Komite menyimpulkan bahwa penolakan untuk mengizinkan (Mezhoud) berpartisipasi dalam pelatihan sambil mengenakan jilbab merupakan tindakan diskriminasi berbasis gender dan agama,” kata pernyataan Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB dalam dokumen tersebut.
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri Prancis tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Kemungkinan konsekuensi dari keputusan PBB ini belum diketahui. Pakar hukum dari Institut Studi Politik Paris, Nicolas Hervieu, mengatakan, menurut preseden hukum, kecil kemungkinan Prancis akan mematuhi keputusan komite.
Prancis adalah rumah bagi salah satu komunitas Muslim terbesar di Eropa. Selama bertahun-tahun, negara itu telah menerapkan undang-undang yang dirancang untuk melindungi bentuk sekularisme yang ketat, yang dikenal sebagai “laicité“. Menurut Presiden Emmanuel Macron, undang-undang itu diterapkan karena Prancis berada di bawah ancaman dari Islamisme.
Beberapa asosiasi Muslim dan kelompok hak asasi manusia mengatakan, undang-undang tersebut telah menargetkan Muslim dan merusak perlindungan demokrasi dan membuat mereka rentan terhadap penyalahgunaan.
Mezhoud mendatangi Komite Hak Asasi Manusia PBB setelah dia kalah dalam banding di pengadilan Prancis.
Komite tersebut mengatakan, Prancis telah melanggar pasal 18 dan 26 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tentang kebebasan beragama.
Pengacara Mezhoud, Sefen Guez Guez, mengatakan kepada Reuters, keputusan tersebut menunjukkan bahwa lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional kritis terhadap kebijakan Prancis mengenai Islam.
“Lembaga Prancis harus mematuhi keputusan PBB,” tambahnya.
Secara teori, setelah keputusan komite PBB, Prancis memiliki enam bulan untuk memberi kompensasi finansial kepada Mezhoud. Termasuk menawarkan kesempatan untuk mengambil kursus kejuruan jika dia masih menginginkannya. Negara juga harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan pelanggaran serupa terhadap hukum internasional tidak akan terjadi lagi.