CakapCakap – Cakap People! Jarum suntik bekas, alat uji bekas, dan botol vaksin bekas dari pandemi COVID-19 telah menumpuk yang menciptakan puluhan ribu ton limbah medis, mengancam kesehatan manusia dan lingkungan, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Selasa, 1 Februari 2022.
Barang-barang tersebut, yang sebagian dapat menularkan karena virus corona bisa bertahan di permukaan, berpotensi membuat petugas kesehatan mengalami luka bakar, luka tertusuk jarum suntik, dan kuman penyebab penyakit, kata laporan itu, seperti yang dilansir oleh Straits Times.
Masyarakat yang dekat dengan tempat pembuangan sampah yang dikelola dengan buruk juga dapat terpengaruh melalui udara yang terkontaminasi dari pembakaran sampah, kualitas air yang buruk atau hama pembawa penyakit, tambahnya.
Laporan tersebut menyerukan reformasi dan investasi, termasuk melalui pengurangan penggunaan kemasan yang menyebabkan serbuan plastik dan penggunaan alat pelindung yang terbuat dari bahan yang dapat digunakan kembali dan dapat didaur ulang.
Diperkirakan sekitar 87.000 ton alat pelindung diri (APD), atau setara dengan berat beberapa ratus paus biru, telah dipesan melalui portal PBB hingga November 2021, yang sebagian besar diperkirakan berakhir sebagai limbah.
Laporan itu juga menyebutkan sekitar 140 juta alat tes COVID-19 dengan potensi menghasilkan 2.600 ton sebagian besar sampah plastik dan limbah kimia yang cukup untuk mengisi sepertiga kolam renang Olimpiade.
Selain itu, diperkirakan bahwa sekitar delapan miliar dosis vaksin yang diberikan secara global telah menghasilkan tambahan 144.000 ton limbah dalam bentuk botol kaca, jarum suntik, jarum, dan kotak pengaman.
Laporan WHO tidak menyebutkan contoh spesifik di mana penumpukan paling mengerikan terjadi, tetapi merujuk pada tantangan seperti pengolahan dan pembuangan limbah resmi yang terbatas di pedesaan India, serta sejumlah besar lumpur tinja dari fasilitas karantina di Madagaskar.
Bahkan sebelum pandemi, sekitar sepertiga fasilitas kesehatan tidak dilengkapi untuk menangani beban limbah yang ada, kata WHO.
Itu setinggi 60 persen di negara-negara miskin, katanya.