in ,

Marak Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus, Komnas Perempuan: Fenomena Gunung Es

80 persen korban pelecehan seksual lebih memilih untuk diam.

CakapCakap – Kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Riau, Provinsi Riau, dan Universitas Sriwijaya di Palembang, Sumatra Selatan, tak luput dari sorotan publik. Namun, kasus pelecehan seksual yang kerap terjadi di lingkungan perguruan tinggi bukan hal baru. Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtyah, mengatakan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi bak fenomena gunung es.

Berdasarkan data yang masuk ke Komnas Perempuan, hanya 10 persen korban yang melapor ke lembaga layanan dan 10 persen cuma bercerita kepada orang terdekat. Sedangkan, 80 persen korban pelecehan seksual lebih memilih untuk diam.

“Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi itu memang sudah lama terjadi. Kalau dari data Komnas Perempuan seluruh (kasus pelecehan seksual) di lembaga pendidikan sekitar 27 persen terjadi di perguruan tinggi,” kata Alimatul kepada VOA, Rabu, 8 Desember 2021.

Ilustrasi. [Foto via Pixabay]

Alimatul memaparkan salah satu alasan mengapa korban enggan melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dialami adalah karena tidak ada kebijakan di kampus yang mampu menjamin bahwa pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan tidak ada kepastian soal pemulihan trauma yang dialami korban.

Alasan korban untuk lebih baik diam itu diperburuk oleh relasi kuasa yang dimiliki para pelaku misalnya dari oknum dosen hingga senior di kampus.

“Apalagi sekarang banyak kasus-kasus yang korbannya dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik. Kalau kita biarkan seperti itu korban tidak akan berani buka suara. Apalagi para pelaku yang memiliki relasi kuasa lebih daripada korban,” ujarnya.

Berbagai Aturan Mulai Diberlakukan

Menurut Alimatul, para civitas academica kini bisa sedikit bernapas lega dengan hadirnya Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Pihak universitas pun diharapkan mampu mengimplementasikan aturan itu agar bisa menjadi pelepas dahaga bagi civitas academica di setiap kampus.

“Walapun memang kami sangat berharap pencegahan masif karena kalau sudah ada satu kasus saja itu kadang-kadang luar biasa penanganannya. Sudah korbannya trauma luar biasa, kemudian penanganannya itu kadang-kadang tidak selancar yang diharapkan,” ucapnya.

Sebenarnya dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kementerian Agama telah menerbitkan pedoman pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Pedoman ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama Nomor 5494 Tahun 2019.

Namun, sejauh ini hanya 17 universitas yang telah berkomitmen mempunyai aturan dan prosedur operasional standar kebijakan kampus dalam upaya mencegah serta menangani kekerasan seksual di kampus. Komnas Perempuan berharap agar kampus umum lainnya mengikuti langkah serupa dengan adanya Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021.

“Menjadi acuan untuk melaksankan program-program kegiatan terkait bagaimana kampus menciptakan yang aman, nyaman, dan sehat untuk mengembangkan civitas academica,” ungkap Alimatul.

Bukan hanya itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga harus segera disahkan agar bisa menjadi payung hukum yang digunakan dalam masalah ini.

Ilustrasi. [Foto via Pixabay]

Layanan Aduan di Kampus

Sementara, Presiden Mahasiswa Universitas Sriwijaya, Dwiki Sandy, mengatakan sejauh ini mereka telah membuat layanan aduan untuk mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Namun terkait pengimplementasian Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021, pihak rektorat Universitas Sriwijaya belum memenuhi secara utuh terkait aturan tersebut.

“Tapi sejauh ini pihak kampus belum memenuhi apa yang ada di dalam Permendikbud itu karena tim etik yang dibentuk tidak sesuai dengan aturan tersebut. Komposisi tim etik tidak sesuai dengan Permendikbud karena enggak ada perwakilan mahasiswa di dalamnya,” ujarnya kepada VOA, Kamis, 9 Desember 2021.

Sedangkan dalam pendampingan dugaan kasus pelecehan seksal yang mencuat di Universitas Sriwijaya, kata Dwiki, mereka menggunakan dua langkah penyelesaian. Pertama melalui jalur internal kampus dan hukum.

“Kami terus mendorong rektorat untuk memberikan hukuman berupa menonaktifkan terduga pelaku. Sedangkan, di jalur hukum kami terus mendampingi korban,” jelasnya.

Penetapan Sebagai Tersangka

Kini kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Sriwijaya telah memasuki babak baru. Salah satu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Reza Ghasarma, telah ditetapkan sebagai tersangka usai dilaporkan tiga mahasiswinya atas kasus dugaan pelecehan seksual.

Sementara untuk kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Riau. Polisi juga telah menetapkan dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Syafri Harto, sebagai tersangka.

Tidak sampai di situ, publik kembali digegerkan dengan kasus dugaan pelecehan seksual lainnya seperti yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Kini, dua kasus yang melibatkan dosen UNJ dan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed sebagai terduga pelaku masih dalam penyelidikan.

LIHAT ARTIKEL ASLI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BMKG Himbau Warga tetap Waspada akan Potensi Gempa Susulan Pasca Gempa 7,4 di Laut Flores

Sering naik pesawat

Omicron Terdeteksi di 72 Negara, Pemerintah Imbau Masyarakat Tidak Berlibur ke Luar Negeri