CakapCakap – Cakap People! Kini, Wajib Pajak Orang Pribadi tak perlu lagi melakukan pendaftaran ke Kantor Pelayanan Pajak (KKP) untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Karena sekarang Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi NPWP! Bagaimana bisa? Lalu, apakah itu berarti setiap pemilik Kartu Tanda Penduduk (KTP) sekarang harus membayar pajak?
Sebagaimana diketahui, Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP telah disepakati menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021–2022, Kamis, 8 Oktober 2021.
Salah satu hal baru yang termuat dalam regulasi tersebut adalah Nomor Induk Kependudukan atau NIK menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Berbeda dengan sebelumnya yakni Wajib Pajak Orang Pribadi wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mendapatkan NPWP.
“Dengan ketentuan baru ini, maka Wajib Pajak Orang Pribadi tidak perlu repot melakukan pendaftaran ke KPP karena NIK tersebut berfungsi sebagai NPWP,” demikian informasi resmi dari Kementerian Keuangan.
Apakah itu berarti setiap pemilik KTP harus membayar pajak?
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menginformasikan bahwa pemberlakuan kebijakan baru ini tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak. Pasalnya untuk pengenaan pajak, pemilik NIK harus telah memenuhi syarat subjektif (termasuk sebagai subjek pajak) dan objektif (mendapatkan penghasilan setahun di atas batas Penghasilan Tidak Kena Pajak).
Adapun, kebijakan yang memberlakukan NIK menjadi NPWP pada dasarnya diarahkan untuk memperkuat reformasi administrasi perpajakan yang sedang berlangsung.
“Permberlakuan itu pun akan mengintegrasikan sistem administrasi perpajakan dengan basis data kependudukan serta memberi kemudahan dan kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional.”
Sebagai informasi, UU HPP ini sebelumnya diusulkan oleh pemerintah dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) kepada DPR pada 5 Mei 2021 dan dibacakan dalam Sidang Paripurna pada 21 Juni 2021.
Substansi RUU tersebut adalah untuk melaksanakan reformasi perpajakan dan meningkatkan penerimaan perpajakan, namun tetap dapat menjaga kondisi masyarakat dan dunia usaha, terutama masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah agar tidak terbebani dengan perubahan kebijakan perpajakan ini serta tetap menjaga momentum pemulihan ekonomi yang tertekan akibat Pandemi COVID-19.
Sesuai dengan berbagai masukan dari stakeholder, serta usulan DPR, maka judul RUU KUP disepakati berubah menjadi RUU HPP dengan menggunakan metodologi omnibus sesuai dengan substansi yang diatur, yang memuat 6 (enam) kelompok materi utama yang terdiri dari 9 BAB dan 19 Pasal, yaitu mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam beberapa UU perpajakan, baik UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), UU Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan memperkenalkan Pajak Karbon. Demikian seperti dilansir dari laman Bisnis.com.