CakapCakap – Cakap People! Alviano Dava Raharjo yang berusia delapan tahun mengetahui bahwa orang tuanya dirawat di rumah sakit di Kutai Barat, Kalimantan Timur, tetapi dia bingung mengapa mereka belum pulang.
“‘Kenapa Ibu belum pulang, Kakek?’ Vino bertanya kepada saya,” kakek dari pihak ibu, Yatin, mengatakan kepada The Straits Times, menggunakan nama panggilan bocah itu ketika dia mengingat percakapan telepon mereka pada pertengahan Juli.
Tanpa diketahui Alviano saat itu, ibunya yang berusia 32 tahun Lina Safitri yang sedang hamil lima bulan baru saja meninggal dunia karena COVID-19. Ayahnya, penjual bakso, Kino Raharjo, 32, meninggal keesokan harinya dan dimakamkan di dekat istrinya.
Jumlah anak yatim piatu di Indonesia seperti Alviano meningkat pesat karena negara ini terus mencatatkan angka kematian harian COVID-19 tertinggi di dunia.
Korban meninggal akibat COVID-19 adalah 1.588 pada Sabtu, 7 Agustus 2021, sehingga total kematian menjadi 105.598 sejak pandemi dimulai. Lebih dari 3,6 juta orang telah terinfeksi sejauh ini di Indonesia.
Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan pada hari Kamis, 5 Agustus 2021, bahwa setidaknya 11.045 anak secara nasional telah kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya karena virus corona hingga 20 Juli 2021.
Tata Sudrajat, wakil kepala dampak program dan kebijakan di Save the Children Indonesia, memperkirakan, berdasarkan data kematian resmi per Selasa (3 Agustus 2021), setidaknya 15.229 anak telah menjadi yatim piatu akibat virus corona, tetapi mencatat angka itu bisa jadi lebih tinggi.
Beberapa dari anak-anak ini dapat mengandalkan kerabat atau keluarga besar untuk merawat mereka. Yang lain kurang beruntung, dan dibiarkan tanpa sarana apapun untuk mendapatkan makanan, atau mendidik diri mereka sendiri.
Meskipun ada solusi yang ditawarkan negara seperti adopsi, pengasuhan anak dan panti asuhan, para ahli mengatakan pengasuhan berbasis keluarga, misalnya oleh kakek-nenek anak, tetap menjadi pilihan terbaik.
“(Mengirim anak ke panti asuhan) harus menjadi pilihan terakhir karena dalam kerangka pengasuhan alternatif kami, kami harus mencoba melibatkan keluarga terdekat terlebih dahulu,” kata Tata kepada Straits Times.
Dia mencatat bahwa anak-anak ini menderita efek emosional dan psikologis dari kematian orang tua mereka, termasuk perasaan kehilangan dan kesedihan, dan ini diperparah ketika mereka dipisahkan atau ditinggalkan oleh anggota keluarga.
Nahar, seorang pejabat senior yang bertanggung jawab atas perlindungan anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, berbagi pandangan dengan Tata.
“Di Indonesia ikatan keluarga cukup kuat. Kami yakin anak-anak bisa diasuh oleh keluarga besar mereka,” katanya.
Di Jawa Timur, di mana lebih dari 5.400 anak menjadi yatim piatu akibat pandemi, Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan berupaya menawarkan dukungan psikologis melalui konseling. Rencananya juga akan diadakan pelatihan dasar kewirausahaan, misalnya tentang cara membuat jajanan atau membuat sabun, untuk mempersiapkan mereka yang berusia 15 hingga 17 tahun untuk bekerja.
“Kami akan memberikan dukungan karena kami khawatir dampak negatifnya jika dibiarkan begitu saja,” kata Kepala Badan, Dr Andriyanto, kepada Straits Times.
Dia mengutip kekhawatiran bahwa anak-anak ini, jika diabaikan, dapat menjadi korban penyalahgunaan narkoba, pernikahan anak, kejahatan atau radikalisme.
Untungnya bagi Alviano, ia terus tumbuh dikelilingi oleh keluarga.
Dia sekarang tinggal bersama Pak Yatin dan kerabat lainnya di Sragen, Jawa Tengah dan menikmati bermain sepak bola dengan anak-anak lain di lingkungan barunya.
Tapi dia masih belum bisa melupakan kematian orang tuanya.
“‘Kakek, saya masih tidak percaya orang tua saya sudah meninggal,’ dia bialng pada saya dua kali,” kata Pak Yatin.
Dia mengatakan bahwa Vino memiliki cita-cita ingin menjadi pilot. “Dia pernah bilang kalau punya banyak uang, dia akan membelikan kami handphone. Insya Allah mimpinya bisa tercapai,” kata Pak Yatin.