CakapCakap – Cakap People! Kepala ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Soumya Swaminathan telah menyarankan individu agar tidak mencampur dan mencocokkan (mix and match) vaksin COVID-19 dari berbagai produsen. Ia mengatakan bahwa keputusan seperti itu harus diserahkan kepada otoritas kesehatan masyarakat, seperti dilaporkan Reuters, Rabu, 14 Juli 2021.
“Ini sedikit tren yang berbahaya di sini,” kata Soumya Swaminathan dalam briefing online pada hari Senin setelah pertanyaan tentang suntikan booster. “Ini akan menjadi situasi kacau di negara-negara jika warga mulai memutuskan kapan dan siapa yang akan mengambil dosis kedua, ketiga dan keempat.”
Swaminathan menyebut pencampuran sebagai “zona bebas data” tetapi kemudian mengklarifikasi pernyataannya dalam tweet semalam.
“Individu tidak boleh memutuskan sendiri, hanya lembaga kesehatan masyarakat dapat [memutuskan], berdasarkan data yang tersedia,” katanya dalam tweet. “Data dari studi campuran dan kecocokan vaksin yang berbeda sedang ditunggu – imunogenisitas dan keamanan keduanya perlu dievaluasi.”
Kelompok Ahli Penasihat Strategis WHO tentang vaksin mengatakan pada bulan Juni bahwa vaksin Pfizer/BioNTech dapat digunakan sebagai dosis kedua setelah dosis awal AstraZeneca, jika yang terakhir tidak tersedia.
Uji klinis yang dipimpin oleh Universitas Oxford di Inggris sedang berlangsung untuk menyelidiki pencampuran rejimen vaksin AstraZeneca dan Pfizer. Uji coba baru-baru ini diperluas untuk mencakup vaksin Moderna dan Novavax.
Indonesia dan Thailand sedang mempertimbangkan untuk memberikan suntikan booster kepada tenaga kesehatan yang sudah diimunisasi dengan vaksin COVID-19 Sinovac, sebuah langkah yang kemungkinan akan mengurangi kepercayaan publik terhadap produk China yang telah menjadi alat inokulasi utama di negara ini.
Beberapa negara termasuk Turki dan Uni Emirat Arab sudah mulai memberikan suntikan booster kepada mereka yang diinokulasi dengan vaksin China di tengah kekhawatiran bahwa vaksin tersebut tidak efektif terhadap virus corona varian baru dan lebih menular.
Namun tantangan yang dihadapi Asia Tenggara jauh lebih besar. Banyak negara di kawasan ini sangat bergantung pada vaksin China karena ketatnya pasokan produk Barat, dan memiliki tingkat vaksinasi yang rendah kurang dari 10%, Reuters melaporkan.