CakapCakap – Cakap People! Diperkirakan 230.000 orang telah mengungsi akibat pertempuran di Myanmar dan membutuhkan bantuan, ketika kelompok etnis bersenjata utama menyatakan keprihatinan tentang kekuatan militer, kematian warga sipil, dan meluasnya konflik. Demikian disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis, 24 Juni 2021.
Myanmar berada dalam krisis sejak kudeta 1 Februari menggulingkan pemerintah terpilih, memicu kemarahan secara nasional yang telah menyebabkan protes, pembunuhan dan pemboman, dan pertempuran di beberapa front antara pasukan dan tentara sipil yang baru dibentuk, Reuters melaporkan.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), meyakinkan bahwa operasi bantuan sedang berlangsung tetapi terhalang oleh bentrokan bersenjata, kekerasan dan ketidakamanan di negara itu.
Disebutkan bahwa sebanyak 177.000 orang mengungsi di negara bagian Karen yang berbatasan dengan Thailand, 103.000 orang pada bulan lalu, sementara lebih dari 20.000 orang berlindung di 100 daerah pengungsian setelah pertempuran antara Pasukan Pertahanan Rakyat dan tentara di Negara Bagian Chin yang berbatasan dengan India.
Beberapa ribu orang telah melarikan diri dari pertempuran di negara bagian Kachin dan Shan utara, wilayah dengan tentara etnis minoritas yang mapan dengan sejarah panjang permusuhan dengan militer.
Persatuan Nasional Karen (KNU), salah satu kelompok etnis minoritas tertua di Myanmar, mengatakan khawatir tentang penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dan hilangnya nyawa warga sipil yang tidak bersalah karena pertempuran meningkat di seluruh negeri.
“KNU akan terus berjuang melawan kediktatoran militer dan memberikan perlindungan sebanyak mungkin kepada orang-orang dan warga sipil tak bersenjata,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Militer mengatakan mereka merebut kekuasaan untuk melindungi demokrasi karena pengaduan kecurangan dalam pemilihan November yang dimenangkan oleh partai berkuasa Aung San Suu Kyi diabaikan.
PROTES
Protes anti-junta berlangsung di Negara Bagian Kachin, Dawei, Wilayah Sagaing dan ibu kota komersial Yangon pada hari Kamis, dengan para demonstran membawa spanduk dan membuat gerakan tiga jari menentang.
Beberapa menunjukkan dukungan bagi mereka yang menentang kekuasaan militer di Mandalay, kota terbesar kedua, di mana terjadi baku tembak antara tentara dan kelompok gerilya yang baru dibentuk pada Selasa, tanda pertama bentrokan bersenjata di pusat kota besar sejak kudeta.
Televisi Myawaddy milik militer mengatakan empat anggota milisi ditangkap pada Kamis, menggambarkan mereka sebagai “teroris”.
Setidaknya 877 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan dan lebih dari 6.000 ditangkap sejak kudeta, menurut Asosiasi Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok advokasi yang telah dinyatakan junta sebagai organisasi ilegal.
AAPP DAILY UPDATE (23/06)
877 killed by this junta
6279 total arrested since coup
5088 currently detained/sentenced
1950 evading arrest warrant
brief https://t.co/2gzckJQ3Vo
detained https://t.co/3M493IOQDz
fatalities https://t.co/oEaLl9WnR8
releases https://t.co/ha20apx5tn pic.twitter.com/Chgk6UBml6— AAPP (Burma) (@aapp_burma) June 23, 2021
Upaya diplomatik oleh negara-negara Asia Tenggara untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog antara semua pihak telah terhenti dan para jenderal mengatakan mereka akan tetap berpegang pada rencana mereka untuk memulihkan ketertiban dan mengadakan pemilihan dalam dua tahun.
Dalam buletin berita malamnya, MRTV yang dikelola negara melaporkan kunjungan pemimpin junta Min Aung Hlaing ke Rusia, di mana sebuah universitas militer menobatkannya sebagai profesor kehormatan.
Tidak seperti kebanyakan kekuatan global, Rusia merangkul junta dan negara itu telah lama menjadi sumber utama persenjataan Myanmar. Kunjungannya dilakukan di tengah tekanan internasional pada negara-negara untuk tidak menjual senjata kepada militer atau berbisnis dengan jaringan perusahaannya yang luas.
Media pemerintah pada hari Kamis memuat kutipan dari pidato di Rusia oleh Min Aung Hlaing di mana dia mengatakan perlu bagi negara-negara untuk menghindari melanggar batas kedaulatan negara lain.
“Myanmar sedang berjuang untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas politik,” katanya seperti dikutip. “Pemerintah saat ini berfokus pada kemunculan kembali kejujuran atas demokrasi.”