in ,

COVID-19 di Australia: Bagaimana Varian Delta Akhirnya Berhasil Menembus Pertahanan Kota-kota Besar di Sana

Empat kota besar — Sydney, Darwin, Perth, dan Brisbane — kini menjalani lockdown.

CakapCakapCakap People! Selama setahun terakhir, Australia dilihat sebagai salah satu negara yang berhasil menangani pandemi COVID-19. Negara itu telah mencapai tahap “normal COVID” yang membuat warganya bisa pergi ke restoran dan makan di sana dan mengunjungi kelab malam dan bisa bergabung ramai-ramai nonton festival dan teater.

Mengutip laporan BBC News, Selasa, 29 Juni 2021, pertahanan COVID-19 yang kuat di negara itu — mulai dari penutupan perbatasan hingga kewajiban karantina — dinilai 99,99% berhasil.

Saat muncul kenaikan kasus yang tidak biasa di suatu wilayah, pihak berwenang langsung bertindak dengan me-lockdown kota tersebut sambil mencari (tracing) siapa saja yang terpapar.

Sydney, kota terbesar dan terkaya di Australia, berhasil menghindari lockdown cepat secara teratur hingga menerapkan karantina wilayah berkali-kali karena sistem penelusurannya yang “kelas satu.”

Sebuah papan pengumuman yang meminta warga untuk tinggal di rumah terlihat di pusat kota pada hari pertama lockdown tujuh hari ketika negara bagian Victoria berupaya mengekang penyebaran wabah penyakit virus corona (COVID-19) di Melbourne, Australia, Jumat, 28 Mei 2021. [REUTERS / Sandra Sanders]

Namun, ceritanya langsung berubah dalam dua pekan terakhir saat COVID varian Delta berhasil menembus pertahanan kota itu. Dalam satu pekan, angka positif di sana melonjak hingga lebih dari 100 kasus.

Mulai Jumat 25 Juni 2021, pejabat setempat akhirnya memutuskan terapkan lockdown di Sydney. Senin pekan ini, krisis di Sydney itu menjalar ke tingkat nasional – di mana lonjakan kasus terjadi di empat negara bagian maupun wilayah.

Empat kota besar — Sydney, Darwin, Perth, dan Brisbane — kini menjalani lockdown.

Lebih dari 20 juta warga Australia, sekitar 80% dari total populasinya, kini harus mengalami pembatasan kegiatan. Ini jumlah terbesar sejak lockdown nasional kali pertama diterapkan di awal pandemi tahun lalu.

Dalam pertemuan darurat Senin, 28 Juni 2021, pemerintah pusat dan daerah berupaya mengatasi lonjakan kasus dengan memperluas akses vaksinasi bagi masyarakat.

Namun banyak warga Australia kini bertanya-tanya, mengapa harus kembali lockdown, yang berarti tujuh bulan setelah dunia mulai menggelar vaksinasi massal.

Bagaimana varian Delta memanfaatkan titik-titik lemah?

Kalangan epidemiolog mengatakan bahwa varian Delta telah terbukti sebagai yang paling cepat menular dari semua varian COVID yang telah diteliti.

Begitu melihat ada celah dalam sistem pertahanan di Australia, varian tersebut langsung mengambil kesempatan.

Sistem perbatasan dan karantina Australia sudah menghadapi tantangan yang makin berat sejak varian-varian pertama muncul di akhir 2020.

Pihak berwenang mencatat kasus-kasus di mana orang-orang yang baru tiba dari perjalanan jauh mengidap virus itu saat menjalani karantina, walau berada di kamar masing-masing.

Kalangan pakar menghawatirkan atas buruknya ventilasi udara di hotel-hotel perkotaan.

Sekitar 370.000 orang telah menjalani sistem karantina yang ditetapkan. Namun terjadi 10 pelanggaran yang menyebabkan kasus baru penularan.

Dua kasus yang membuat Australia kembali bermasalah dengan pandemi itu muncul dari orang-orang yang menjalani karantina di hotel. Salah seorang dari mereka adalah pekerja tambang di Northern Territory yang terpapar virus itu saat menjalani karantina di Queensland.

Seorang lagi adalah perempuan warga Queensland yang terinfeksi justru saat dia menuntaskan masa karantina.

Orang-orang memakai masker di pusat kota pada hari pertama lockdown di Sydney pada Sabtu, 26 Juni 2021. FOTO: REUTERS

Titik lemah lainnya adalah para pekerja di perbatasan.

Australia dikenal sangat ketat dalam membolehkan siapa saja yang bisa masuk ke wilayahnya, dengan membatasi setiap minggu jumlah warga yang kembali pulang dari luar negeri sekaligus langsung melarang masuk mereka yang berasal dari wilayah “zona merah.”

Begitu keluar dari pesawat, setiap penumpang langsung disambut tatapan intimidatif para petugas, baik itu perawat, polisi, dan tentara yang bermasker dan langsung mengarahkan mereka langsung ke tempat karantina.

Namun kesiagaan itu tidak berlaku untuk semua staf di bandara, seperti sopir angkutan transportasi yang mengantar pendatang.

Pasien pertama dari lonjakan kasus di Sydney adalah seorang supir berusia 60-an tahun yang tertular dari seorang penumpangnya. Apalagi sopir itu belum divaksin, tidak pakai masker, dan juga tidak dites secara berkala – yang mana hal-hal tersebut tidak diwajibkan dalam peraturan yang berlaku saat itu.

Terlepas dari titik-titik lemah pertahanan itu, kalangan pakar meniilai bahwa varian delta merupakan “musuh yang hebat” karena cepat menimbulkan tingkat infeksi yang tinggi.

Di negara bagian New South Wales, dengan Sydney sebagai ibu kotanya, pihak berwenang melaporkan hampir 100% penularan Delta terjadi di rumah tangga ketimbang varian sebelumnya yang hanya 25%.

Klaster rumah tangga itu bisa terjadi hanya karena warga berpapasan dengan orang yang sudah tertular di sebuah toko.

“Delta ini benar-benar sangat menular. Bahkan walau sudah divaksin sekalipun masih ada potensi untuk tertular,” kata Profesor Nancy Baxter, dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Global dari Universitas Melbourne.

Dia mengungkapkan bahwa sebelum munculnya wabah penularan, untuk varian Delta ini pihak berwenang “tidak dapat mengidentifikasi bagaimana penularan itu terjadi.”

“Jadi menurut saya ketika sistemnya sudah sempurna, [varian] ini jadi tantangan. Namun ketika sistemnya tidak sempurna, ini yang membuat kita bisa jadi sasaran empuk.”

Tidak divaksin dan terpapar

Bahaya yang ditimbulkan varian Delta juga menandakan kegagalan program vaksinasi di Australia.

Belum sampai 5% warga dewasa di negara itu yang sudah divaksin secara penuh dan baru 29% yang menerima dosis pertama.

Di antara kelompok negara maju (OECD), Australia termasuk terbelakang dalam program vaksinasi COVID.

Kalangan pengritik menyatakan pemerintah harus bertanggungjawab.

“Masih banyak yang baru divaksin sebagian, bahkan lebih banyak lagi yang belum divaksin,” kata Profesor Raina MacIntyre dari Universitas New South Wales.

“Dengan demikian, masyarakat jadi sangat rentan.”

Lambatnya program vaksinasi di Australia itu dikaitkan dengan masalah pasokan dan rasa puas diri dengan rendahnya angka penularan. Belum lagi banyak yang khawatir atas risiko pembekuan darah yang ditimbulkan vaksin AstraZeneca.

Ini yang membuat pemerintah awal tahun ini membatasi penggunaan vaksin itu hanya bagi warga berusia 60 tahun ke atas walau masih belum dapat pasokan yang cukup dari vaksin merek lain, yaitu Pfizer.

Situasi itu diperparah oleh pemberitaan sensasional sejumlah media terkait risiko vaksin AstraZeneca.

Itulah yang membuat takut banyak warga Australia, termasuk seorang supir limo tadi yang dikaitkan dengan wabah di Sydney, yang menurut berita media lokal dia mengaku takut menerima vaksin AstraZeneca.

Jadi apa yang kini dilakukan Australia?

Para ahli sepakat bahwa wabah terkini harus ditanggulangi dengan kebijakan lockdown dan pembatasan lainnya. Walau masih terbilang dini, mereka berharap bahwa shutdown selama dua pekan di Sydney akan bisa memutus rantai penularan virus itu.

Namun untuk mencegah wabah-wabah baru Delta, Perdana Menteri Scott Morrison tampaknya harus menerima desakan dari para pakar: percepat vaksinasi massal.

Dia telah memerintahkan vaksinasi wajib bagi petugas kesehatan dan karantina berusia lanjut di tempat yang berisiko tinggi.

Morrison juga telah membuka akses vaksin AstraZeneca bagi kaum muda, serta menjamin ganti rugi bagi para dokter bila menghadapi situasi yang membahayakan mereka.

Akhir bagi “normal COVID”

Para pakar juga memperingatkan bahwa varian Delta kemungkinan besar telah mengubah persepsi Australia atas COVID.

Saat vaksinasi massal kemungkinan tidak bisa tuntas hingga 2022, dan ketika masih banyak warga Australia yang pulang dari luar negeri, ancaman Delta masih tetap membayangi, kata para pakar.

Ini berarti langkah-langkah seperti wajib masker di tempat umum harus diterapkan.

“Sebelum masalah ini muncul, segalanya sudah oke. Kita bisa pergi keluar makan malam atau nonton pertunjukkan bersama ribuan orang lainnya,” kata Dr Baxter.

“Namun saya tidak yakin kita bakal bisa mengulanginya lagi sampai kita semua divaksin, karena begitu besar risikonya. Menurut saya tidak bisa lagi kita hidup tanpa adanya COVID,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Harry dan Meghan Diduga Tolak Gelar Earl of Dumbarton Untuk Anak Lelakinya Karena Alasan Mengandung Kata ‘Dumb – Bodoh’

Berikut 5 Fakta-fakta Seputar Vaksin Covid-19 pada Anak di Indonesia